Hari minggu lalu, saya menonton sebuah film kartun populer yang kerap ditayangkan tiap pekannya di salah satu stasiun televisi nasional -- salah satu aktivitas libur yang sebenarnya sudah jarang dilakukan generasi millenial untuk mengisi waktu luang. Uhuk!
Pada salah satu serinya, saya tertarik dengan cerita di mana sang tokoh utama dalam seri kartun tersebut bersama dengan sahabatnya sedang mengikuti sebuah kompetisi membuat makanan terenak yang diadakan di kota (kartun) mereka.
Singkat cerita, tahap demi tahap telah dilalui hingga mengerucutkan dan menghasilkan dua peracik makanan terenak. Secara mengejutkan, yang berhasil dan bersaing untuk mendapatkan predikat peracik makanan terbaik itu mereka tak lain adalah sang tokoh utama serta sahabatnya itu. Dua sahabat ini kemudian bersaing untuk menjadi terbaik.
Maka dimulailah tahap akhir kompetisi untuk mendapatkan peracik makanan terbaik. Tahap final diadakan di sebuah tempat wisata sejuk, daerah pegunungan. Pada tahap akhir ini, para panitia memperbolehkan dan membebaskan jenis makanan yang diracik serta cara dan strategi yang digunakan masing-masing. Maka mulailah mereka meracik makanannya.
Sang sahabat yang merupakan pesaing tokoh utama langsung bergerak cepat tanpa buang-buang waktu dengan begitu lihainya meracik, meramu bumbu-bumbu. Dalam benaknya, dia sudah merencanakan akan meracik makanan kelas bintang lima, istimewa, tampilan mewah, dan embel-embel atribut kemewahan lainnya. Sementara sang tokoh utama, dengan begitu santai dan sambil tebar senyum meramu makanannya.
Bahkan, terkesan jenis bumbu yang dipilih dan racikannya sangat sederhana yang lazim digunakan pada kelas ibu-ibu rumah tangga.
Mereka berdua akhirnya mampu meracik makanan mereka masing-masing sesuai dengan waktu yang ditentukan.Â
Para juri penilai pun sudah berada di hadapan mereka. Makanan yang mereka racik pun langsung disajikan dalam tudung yang tertutup di hadapan juri penilai. Sang sahabat begitu percaya diri dia akan memenangkannya. Sebab dia sudah bekerja sepenuh hati dan mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk ini. Pendeknya, ini adalah puncak dari segala kemampuan meraciknya!
 Sementara sang tokoh utama tampak begitu santai, tanpa beban. Akhirnya mulailah tim juri penilai mencicipi makanan hasil racikan keduanya. Pertama-tama, makanan yang dicicipi adalah makanan si pesaing tokoh utama yang bercita rasa bintang lima serta berasosiasi dengan kemewahan itu. Respons juri penilai tampak mengangguk-angguk sambil terus menikmatinya.
Sebagai juri berpengalaman, tampak lidahnya sudah terbiasa dengan makanan-makanan enak. Terbentuk kesan di gesture tubuhnya tampak biasa saja dengan hasil racikan tersebut. Biar begitu, sang pesaing merasa percaya diri, dirinya akan memenangkannya.
Kemudian setelah selesai menikmati makanan dari si pesaing, juri penilai kemudian berpaling pada makanan racikan si tokoh utama. Ketika juri penilai hendak mencicipinya, tiba--tiba saja sang tokoh utama berbicara seraya melarang para juri langsung mencicipinya. Ia berkata dan terkesan sebuah klaim, bahwa makanan dia sangat enak dan nikmat. Oleh karena begitu nikmat, cara mencicipinya pun tidak sembarangan.