Untuk soal hukum, entah mengapa narasi-narasi yang cenderung berkembang dan populer hanya melihat hukum dari pendekatan yuridis belaka. Pun demikian, ketika membicarakannya dalam bingkai akademik ala universitas -- terlebih di daerah -- para pendidiknya juga turut menggiring dalam tataran yuridis saja. Padahal hukum sebagai "kreasi gigantik" itu memiliki pendekatan multi-perspektif. Sekecilnya dapat diklasifikasi dari 3 perspektif, yakni filosofis, yuridis, dan sosiologis.Â
Dalam hal tulisan ini, saya coba merefleksikan hukum. Terlebih jika meniliknya sebagai gejala sosial. Tentu tulisan ini tidak bersifat dogmatis-doktrinal. Hanya sekedar saya refleksi saja.Â
Saya kira ketika berbicara hukum tentu juga berbicara entitas makhluk bernama manusia; suatu makhluk yang (diklaim) memiliki keistimewaan karena akalnya. Artinya, hukum ada ketika manusia -- dalam pemahaman majemuk -- turut juga ada. Tidak ada hukum -- tercipta dan dicipta -- dalam entitas makhluk lainnya. Itu sebabnya subjek utama hukum adalah manusia dan pada kenyataannya memang cuma manusia itu sendiri, meski dalam lintasan sejarah peradaban ini sendiri pernah satu waktu hewan pun dijadikan sebagai subjek hukum.
 Namun, tiada hukum pada manusia dalam individu. Hukum ada ketika manusia sebagai sebuah bagian, baik skala komunitas maupun masyarakat. Manusia sendiri bisa ditelusuri dari dua sisi: sebagai individu dan sebagai entitas sosial.
Pada mulanya semua manusia adalah individu. Seiring dengan perkembangan daya pikiran, kebutuhan, dan kepentingan, manusia sebagai individu membentuk unit sosial dalam skala kelompok guna pemenuhan aspek-aspek tersebut.
Kelompok manusia demikian melakukan kerjasama positif dalam upaya mengejar kehidupan yang layak sebagai manusia. Filsuf Yunani, Aristoteles memberikan istilah terhadap perangai manusia tersebut sebagai zoon politicon; makhluk yang pada dasarnya ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia.
Ketika manusia semakin berkembang, baik dalam populasi maupun kemampuan, serta kebutuhan semakin mendesak dan kompleks, hingga terkadang melahirkan perselisihan antar kelompok dan konflik, manusia merasa perlu menyelaraskan ide dan kebutuhan dengan kelompok manusia lainnya dengan menciptakan sebuah tatanan bernama masyarakat. Ya, sebagai bentuk wadah individu plus individu dan kelompok plus kelompok tersebut.
Pun demikian, bicara masyarakat sebagai wadah kelompok plus kelompok ialah soal bagaimana mempertahankan kepentingan kelompok dan ego-sektoral masing-masing. Maka, diperlukan sebuah aturan yang mengakomodir kepentingan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Yang demikian disebut norma; suatu aturan yang lahir dari hasil pertentangan dan penyelarasan kepentingan-kepentingan antar kelompok manusia yang dirasa perlu dilindungi dan diakomodasi berdasarkan kesepakatan dan  selaras serta tidak bertentangan dengan kodrat alam.
Sebagai suatu akomodasi kepentingan antar kelompok, dari sini, bisa dilihat suatu norma juga turut terbentuk karena dua hal:
Pertama, adanya perjumpaan dua atau lebih aturan dan kepentingan kelompok yang secara komposisi memiliki pengaruh sama kuat, namun dapat diselaraskan hingga bersama-sama membentuk norma masyarakat warga.
Tentu, pertanyaannya adalah, sebagai perjumpaan kepentingan dan pertentangan antar-kelompok, bagaimana terbentuk suatu kesepakatan norma? Bagi penulis, tawaran pandangan seperti yang diuraikan J. J Rosseau sangat tepat untuk menjawabnya, bahwa  Kepentingan tersebut harus dibedakan antara kehendak umum dan kehendak masing-masing.