Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap dua gugatan terkait Pilkada 2024 yaitu gugatan dengan perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024, menimbulkan beberapa reaksi dari berbagai kalangan masyarakat.
Dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK memutuskan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi di DPRD.
Kemudian dari putusan itu, parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan cagub-cawagub dengan perolehan suara sah minimal 10 persen di Pemilu DPRD pada provinsi dengan DPT hingga 2 juta.
DPT dengan 2-6 juta minimal 8,5 persen. Lalu DPT dengan 6-12 juta minimal 7,5 persen. Serta DPT di atas 12 juta paling sedikit memperoleh 6,5 persen suara sah.
Sedangkan untuk pemilihan bupati/wali kota beserta wakilnya, parpol atau gabungan parpol dapat mendaftar dengan perolehan suara sah minimal 10 persen di Pemilu DPRD pada provinsi dengan DPT lebih dari 250 ribu jiwa.
Kemudian DPT dengan 250-500 ribu minimal 8,5 persen. Lalu DPT dengan 500 ribu hingga sejuta minimal 7,5 persen. Serta DPT di atas satu juta jiwa paling sedikit memperoleh 6,5 persen suara sah. Sementara melalui putusan nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menetapkan syarat usia cagub dan cawagub harus berumur 30 tahun saat penetapan calon.
Terhadap dua keputusan MK tersebut, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat melakukan rapat Panitia Kerja (Panja) guna membahas mengenai Revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Panja ini fokus membahas 16 Daftar Inventaris Masalah (DIM) Perubahan Redaksional dan Substansi. Â Baleg kemudian menyiasati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dalam perubahan Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada, Panja Baleg merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Selanjutnya, rumusan Panja Baleg terhadap Pasal 40 UU Pilkada adalah mengatur ambang batas pencalonan sebesar 6,5 sampai 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD. Sedangkan ambang batas pencalonan bagi partai pemilik kursi di DPRD adalah sebesar 20 persen dari jumlah kursi di Dewan atau 25 persen dari perolehan suara sah.
Terhadap beberapa hasil keputusan rapat Panja Baleg tersebut yang seolah ingin menganulir beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan upaya upaya menciderai demokrasi yang telah kita jaga bersama sejak era reformasi. Dengan ada nya putusan MK tersebut adalah salah satu upaya menyelamatkan demokrasi di negeri ini. Ditengah ramai polemik kotak kosong pada pilkada 2024 ini, maka melalui keputusan MK tersebut meminimalisir adanya satu calon/calon tunggal kepala daerah melawan kotak kosong, yang menurut hemat penulis apabila kotak kosong yang menang maka kepemimpinan di daerah tersebut akan di pimpin Penjabat (Pj) kepala daerah yang tentu tidak melahirkan pemimpin yang di harapkan masyarakat di daerah nya masing-masing dan lebih memberikan ruang ruang demokrasi terhadap seluruh generasi terbaik bangsa ini untuk bisa maju mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah dan meminimalisir terjadinya fenomena borong partai politik yang kita saksikan bersama salah satu nya adalah KIM Plus yang kemungkinan besar akan melawan kotak kosong jika mayoritas partai besar berkoalisi, sehingga mempersempit ruang ruang demokrasi untuk putra/putri terbaik bangsa dapat maju menjadi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah di seluruh daerah di Indonesia.
Kita tunggu bersama pendapat KPU agar tidak menafsirkan sendiri putusan ini akan berlaku di tahun 2029. Sebab, putusan ini memiliki kesamaan karakter dengan putusan MK Nomor 90 tahun 2023 soal syarat usia capres yang digunakan tiket pencalonan Gibran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H