Belum berapa lama reshuffle kabinet berganti (27/7). Seperti memang sudah menjadi tradisi barangkali, hingga terdengar sumbang, ”ganti menteri, ganti kebijakan.” Kali ini yang bikin heboh atau kegaduhan publik adalah menteri pendidikan yang baru, Muhadjir Effendy.
Membaca pernyataannya di media massa, sepertinya itu menjadi salah satu cara untuk mendapatkan perhatian publik. Intinya, menasionalkan sekolah sehari penuh atau akrab disebut full day.
Alasannya: solusi atas lingkungan pergaulan yang negatif, penanaman karakter dan pengasuhan bagi orang tua yang keduanya bekerja. “Saya itu baru jualan ide. Ingin tahu respons masyarakat seperti apa.”Wah kelihatan enteng sekali ya jawabannya. Ah, jangan-jangan pak menteri melempar gagasan ini seperti marketing properti. Belum ada bangunan yang siap jadi (berdiri) tetapi sudah dipromosikan begina- begini...
Benar saja, publik jadi heboh. Para pakar, penggiat dan praktisi pendidikan sontak urun suara. Bahkan yang awam sekalipun juga ikutan bersuara. Lihatlah di change.org, para netizen sontak menggelar aksi penolakan pendidikan full day. Hingga tulisan ini dibuat (pkl. 17.30 WIB) sudah mencapai angka 36.305. Besar lho jumlah itu (saban di-klik, angka ini terus bertambah setiap menit dan detiknya)...
Ya, angka itu jangan dibantah, dikomparasikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berkisar ratusan juta itu (255.461.700 jiwa per 1/7/2015 menurut BPS). Secara prosesntase, jumlahnya memang jadi kecil (sekitar 1,5 persen). Tetapi kaum yang tak bersuara melalui media ini kan juga besar? Suara mereka barangkali cuma bisa didengar dalam percakapan a la warung kopi. Tak terpublikasikan.
Saya tahu, kawasan sekolah satu almamater yang bernama sama itu, sudah menerapkannya. Dulu (beberapa tahun lalu), pada jarak ratusan meter dari rumah saya tinggal, tidak seramai dan gampang macet seperti sekarang. Lancar jaya jalan rayanya. Macet hanya di jam masuk dan pulang sekolah. Maklum saja, karena ada SD Negeri, TK dan sekolah swasta lain.
Tetapi semenjak bangunan kompleks sekolah (Muhammadiyah) itu berkembang pesat, satu-persatu rumah penduduk dibeli. Bahkan kantor kelurahan pun ikut tergusur, kena perluasan pembangunan gedung sekolah yang besarnya fantastis. Kalaupun bisa, itu pun kalau aturannya memang memperbolehkan, tidak hanya satu RT, satu RW pun lahannya dibeli untuk pengembangan sekolah. Termasuk fasilitas umum yang ada: jalan utama dan jalan kampung, barangkali.... bonus, include.
Sekolah yang dulunya standar itu memang kian diperbagus gedungnya. Makin lebar dan makin tinggi. Namanya juga kian keren. Sekolah modern. Full day. Prestasi juga bisa makin oke.
Memang benar, bisa pak menteri, itu diwujudkan. Sekolah full day bukan cuma khayalan dan omong kosong belaka. Tapi, membangun fisik pendukungnya sendiri, saya yakin itu sokongan dananya sangat berlimpah-ruah. Sangat mungkin melakukan hal itu.
Benar, pak menteri. Orang tua yang mayoritas bermobil itu bisa mengantar dan menjemput putra-putri mereka sekali jalan. Di sekolah, selama sepertiga hari, anak-anak mereka punya orang tua baru. Sekolah menjadi tempat pengasuhan kedua. Menjadi jaminan aman dari pergaulan yang dipandang negatif dibandingkan kalau jam sekolahnya nggak full day.
Tapi pak menteri, apa para siswa itu tidak butuh lingkungan pergaulan sosial yang baru? Teman-teman bermain di kampung (eh kesannya ndeso ya?) atau perumahan tempat tinggalnya? Tidak perlukah mereka juga berteman dengan komunitas–komunitas yang lain? Tidak semua lingkungan di luar sekolah dipandang secara negatif, bukan?