Justru pada saat seperti inilah, bantuan bersama orang-orang di sekitarnya perlu dan amat dibutuhkan. Mungkin saja tak bisa secara frontal, langsung berhadapan. Namun dengan cara lain, misalnya menandainya lewat kamera hape, merekam (mendokumentasikan) pelaku. Hal ini bisa menjadi salah satu bukti dan alat tekan (pressure) bagi pemangku kepentingan untuk bisa bertindak lebih jauh, demi perbaikan sektor pelayanan publik yang dised. Â
Mengutip hasil Survei Nasional Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang rilis pada 27 November 2021, mencatat ada 48,9%  alias satu dari dua perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Sedangkan laki-laki yang pernah mengalami perkara serupa adalah 27%, atau satu dari setiap lima laki-laki. Survei ini dilakukan dengan responden sebanyak 62.224 orang dari berbagai usia, tingkat pendidikan, gender, identitas, dan tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Selain itu, KRPA juga menemukan 19 bentuk pelecehan atau kekerasan seksual di transportasi umum. Di antaranya adalah siulan/suitan, suara kecupan, komentar atas tubuh, serta komentar seksual yang gamblang, seksis, dan rasis. Kemudian main mata, difoto secara diam-diam, diintip, diklakson, gestur vulgar, dipertontonkan masturbasi publik, dihadang, diperlihatkan kelamin, didekati dengan agresif, diikuti/dikuntit, hingga disentuh, diraba, dan digesek dengan alat kelamin.
Kewaspadaan Dini
Secara normatif ada berbagai bentuk tips atau cara menghindari pelecehan seksual di transportasi umum ini. Misalnya bersikap tegas terhadap pelaku catcalling (panggilan yang memiliki tendensi ke arah pelecehan seksual). Ini harus diperlihatkan dengan sungguh-sungguh. Bukan diam semata, namun menunjukkan ketidaksukaan atas perlakuan ini.
Hindari tidur atau cari posisi duduk yang tepat. Ya, ini bisa dilakukan kalau dalam situasi normal. Justru studi kasus dalam hal ini terjadi dalam hal sebaliknya. Sarana trasportasi umum dijejali banyak pengguna, situasi ramai. Dan di sanalah peristiwa pelecehan seksual terjadi.
Bisa juga, khususnya kepada kaum perempuan, untuk berpakaian yang sopan. Namun, nyatanya hal ini juga tak terlalu signifikan. Berpakaian model tertutup, memakai celana panjang, baju terusan, tak menjadikan bebas dari ancaman.
Artinya, model pakaian yang dikenakan wanita tidak serta merta menjamin baginya untuk tidak terkena pelecehan seksual. Pelaku tidak memilih korban hanya berdasarkan pakaian semata. Seperti adagium hukum, kejahatan itu timbul karena adanya niat dan kesempatan di waktu tertentu.
Justru "orang normal" tidak akan mengenakan model pakaian "terbuka, vulgar atu seksis" di dalam transportasi umum. Justru mereka akan mengenakan pakaian yang senyaman mungkin untuk dapat bebas bergerak. Sorotan publik justru lebih dihindari.
Stereotip bahwa kaum wanita sendiri yang memberikan kesempatan, umpan kepada pelaku untuk bisa melakukan tindakan pelecehan seksual, sejatinya adalah bentuk lain dari pelecehan  itu sendiri. Seolah-olah si wanita menginginkan keadaan tersebut terjadi.