Seminggu lalu, 16 November diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional alias International Day for Tolerance. Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkannya sejak tahun 1996 silam pada tanggal yang sama.
Peringatan ini dibuat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat global tentang sikap toleran. Pesan penting dalam hal ini adalah meskipun manusia hidup di dalam masyarakat yang semakin beragam. Tetapi sejalan dengan itu, intoleransi juga bertumbuh di banyak tempat.
Kalau merujuk pada KBBI, pengertian "Toleransi" dituliskan: toleran/to*le*ran/ a bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Jika dinegasikan, artinya jika ada 'pendirian' yang berbeda dengan 'pendirian' sendiri, maka seseorang atau sekelompok orang itu tidak diperkenankan untuk memaksakan pendirian tadi agar sejalan dengannya.
Â
Toleransi dalam Kemajemukan
Toleransi pada prinsipnya adalah sebuah penghargaan HAM secara universal dan fundamental. Manusia pada dasarnya, secara alamiah sudah beragam. Maka toleransi dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan hidup sebuah komunitas yang heterogen.
Toleransi sebenarnya tidak hanya ada pada bidang keagamaan semata, seperti yang sering didengung-dengungkan. Toleransi itu punya arti yang lebih luas wilayahnya.
Jika dalam toleransi beragama, diharapkan ada sikap untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan agama atau keyakinan orang lain. Termasuk juga dalam hal pilihan untuk memeluk agama/kepercayaan tertentu dan menjalankan ritual keagamaannya masing-masing.
Pada toleransi berpolitik, sebetulnya juga memiliki prinsip yang sama. Menghargai dan menghormati pendapat atau pandangan politik orang lain yang berbeda dengannya.
Satu hal lagi dalam konteks kemajemukan bangsa Indonesia, toleransi dalam berbudaya juga menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Toleransi dalam berbudaya juga bisa menjadi kunci kerukunan. Artinya, tidak menganggap superior budaya yang satu dengan yang lainnya. Semuanya setara dan seimbang.
Teori vs Kenyataan
Sebenarnya, mengelola perbedaan dari ketiga hal di atas bukan hanya terjadi pada masa kini semata. Sudah lama terjadi, dan bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Perbedaan pandangan politik, misalnya, ingatan jangka pendek adalah saat republik ini berdiri dan kemudian munculnya era multipartai dalam pemilu dan parleman. Ragam perbedaan pilihan atas hak berpolitik juga bisa menjadi rawan jika tak ada "toleransi" di dalamnya.
Konflik muncul karena tak ada "toleransi". Bisa jadi dan sangat mungkin. Terkait dengan faktor keagamaan dan budaya yang berbeda, sudah terlalu sering berita ini berseliweran di media. Hingga akhirnya memunculkan sikap sinisme terhadap solusi yang diberikan.
Misalnya, penolakan atau aksi massa terhadap kegiatan keagamaan atau pelaksanaan ritual budaya di suatu tempat. Pihak keamanan atau pemangku kepentingan (stakeholder) justru memiliki kecenderungan mengalah pada unjuk kekuatan massa itu. Bukan lagi berpedoman pada prisip hukum dan keadilan.
Pentingnya ber-Toleransi
Membangun cita-cita bangsa yang "... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,..." tentunya bisa diraih jika ada pemahaman yang sama mengenai makna dari "toleransi".
Toleransi ini penting dan perlu ditanamkan sejak dini dalam merawat kebhinnekaan yang memang sudah ada sejak mulanya. Bukan hanya dalam keluarga, tapi juga di sekolah; tempat berkumpulnya peserta didik yang punya latar belakang beraneka rupa.
Miris rasanya membaca kabar harian seperti ini (baca Sumber Berita). Hanya karena perbedaan keyakinan, 3 peserta didik kakak beradik di SDN Tarakan tidak bisa naik kelas. Kejadian yang beruntun hingga 3 kali tahun pelajaran. Bukan karena persoalan kemampuan akademis yang membuatnya demikian.Â
Manfaat ber-Toleransi
Bertoleransi secara tepat tentu punya banyak manfaat. Kita tak akan menjadi seperti katak dalam tempurung. Kita bisa lebih mampu melihat keluasan cakrawala pandang. Melihat keanekaragaman yang ada, punya pesona yang jauh lebih indah.
1. Hidup dalam Damai
Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan agar sebuah komunitas dalam sebuah masyarakat bisa hidup secara berdampingan dalam keharmonisan tanpa adanya "toleransi". Tidak menjadi masalah untuk berpegang pada nilai-nilai dri sendiri. Namun menerima dan menghormati nila-nilai orang lain, juga perlu dilakukan.
2. Memperkuat Ikatan Persaudaraan
Perbedaan bukanlah sebuah penghalang dan hambatan dalam melangkah bersama. Dengan adanya "toleransi", tentu diharapkan bisa muncul rasa persaudaraan sebagai sesama anak bangsa. Dalam komunitas terkecil saja sudah memupuk perseteruan, apalagi jika itu sama dirasakan dalam komunitas yang lebih hbesar. Sebagai satu bangsa, akan mudah terpecah-belah dan diadu-domba.
3. Empati Nasionalisme
Mencintai segala bentuk perbedaan dan keragaman pada tanah air yang sama, mampu menumbuhkan dan menguatkan rasa nasionalisme yang ada. "Toleransi" pada hakekatnya mempersatukan kemajemukan yang telah ada, tumbuh dan berkembang di dalamnya.
4. Kemajuan Pembangunan dan Karakter Bangsa
Dengan adanya prisip "toleransi" yang sama, membangun negara akan lebih mudah dilakukan. Bayangkan jika tak ada perspektif yang serupa terhadap warna-warni perbedaan, tak akan ada yang namanya titik temu, deadlock. Masing-masing  pihak mempertahankan egonya dan tak mau mengalah dan menghargai perbedaan pandangan pihak lainnya. Bisa pecah dan perang saudara sesama warga bangsa.
Toleransi menciptakan harmoni damai. Selamat memaknai ragam perbedaan...
23 November 2021
Hendra Setiawan
Â
*) Bacaan: Â Kompas, Â Detik, Â Liputan6
**) Â Artikel Utama sebelumnya: Â Siasat Agar Pemakaian Minyak Goreng Awet dan Tahan Lama
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H