(1)
Tasya, si 'Anak Gembala' pernah bersukaria lewat senandung riang lagunya. Sebagai anak gembala yang rajin bekerja, ia akan membawa ternak-ternaknya ke sebuah tempat. Padang rumput hijau yang subur di kaki bukit. Biar gemuk dan sehat, karena mereka makannya tak pernah sedikit.
Tapi, konon si Tasya yang sama juga menjadi anak kota. Suatu ketika pamannya datang dan membawa oleh-oleh hasil kebun. Paman Tasya berjanji akan mengajaknya liburan di desa.
Wah, betapa senangnya. Girang nian hati tiada terperi mendengar kata-kata ini. Sudah terbayang-bayang akan mandi dari air sungai yang segar. Turun ke hamparan sawah-sawah yang hijau menguning. Ingin juga rasanya ikut menggiring kerbau pulang ke kandang.
(2)
Lain cerita dengan lengkingan nada dari bunda Nicky Astria. Ia seakan protes mengenai kegersangan yang kini melanda desanya. Hilang entah ke mana keasrian yang dulu dirasakannya.
Ia seakan tak bisa lagi menikmati kembali keindahan alamnya. Tak nampak lagi luasnya sawah hijau yang terbentang sepanjang mata memandang. Tak nampak juga gembala dengan tiupan suara serulingnya, yang biasa terdengar saat istirahat siang tiba. Melantunkan kidung-kidung pujian yang menentramkan jiwa
Ah, di mana desah gemerisik dedaunan yang mewarnai alam ini? Mengapa gersang melanda wajah desaku? Seperti wajah orang, ia semakin pucat pasi tiada berseri. Tanah-tanah juga kering hingga merekah seakan sudah tiada lagi kehidupan.
Kepada siapa aku harus mengadu? Air sungai juga penuh dengan sampah limbah industri. Kepada siapa harus bertanya jika kemudian bencana datang. Ulah siapa yang menyebabkan ini semua? Kepada siapa tuturan resah hati ini ditujukan?
(3)