Pada waktu-waktu tertentu, ngadem di taman kota menjadi alternatif pilihan. Si anak bermain, ia nyaur (membayar hutang) tidur malam sebelumnya. Maklumlah, kipas angin yang non-stop berputar tak jua mampu mendinginkan ruangan. Panasnya Surabaya seperi menjadi momok.
Namun cerita berbalik 180 derajat. Covid-19 menyerangnya. Mau tak mau, atas saran tim medis ia harus berjemur tiap hari selama dua pekan. Dan pada saat itulah ia kemudian menyadari kalau matahari yang selama ini dianggapnya musuh, menjadi semacam 'dewa penolong'nya. Musuh berubah menjadi kawan.
Panas matahari yang yang dulu tidak disukainya, kini sudah tak menjadi masalah besar. Ia akhirnya berdamai dengannya. Cara pandang berubah akibat dari peristiwa yang dialaminya.
***
Ya, intensitas cahaya matahari bisa dipandang baik atau buruk; berguna atau tidak, akan kembali kepada pribadi yang mengalaminya. Setiap orang punya pengalaman dan sikap yang berbeda-beda.
Panas matahari yang lagi "hot-hot"-nya ini dialami oleh semua orang tanpa terkecuali. Menerimanya dengan cara bersyukur atau bersungut adalah sebuah pilihan.
27 September 2021
Hendra Setiawan
*) Bacaan: Â Merdeka, Â TribunNews, Â Kompas, Â BetahitaÂ
**) Â Artikel Utama lainnya: