Kartini namaku
Kalian tentu sudah banyak yang mengenalku
Aku lahir di Mayong, afdeling (kabupaten) Jepara
Hari ini, 142 tahun yang lalu
Ya, tanggal 21 April 1879
Itu hari kelahiranku yang diperingati tiap tahun di negeri ini
Sebenarnya aku sedikit bersyukur dilahirkan di kalangan ningrat Jawa
Itulah sebabnya di depan namaku ada tambahan huruf R dan A di depannya
Raden Ajeng Kartini, begitulah jika disebutkan lengkap
Tapi yang lebih tepat sebetulnya adalah Raden Ayu
Biarlah, itu tak masalah bagiku
Aku anak kelima, adikku ada enam orang
Sebelas bersaudara kandung dan tiri
Aku adalah perempuan tertua di keluargaku
Aku tahu ini merupakan anugerah bagiku
Karena dengan lahir di lingkungan keluarga seperti ini
Maka aku seharusnya bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik
Daripada mereka yang lahir dari keluarga rakyat jelata
Orang biasa tak punya kesempatan yang lebih untuk dapat bersekolah tinggi
Beruntunglah aku, meskipun aku akhirnya dipingit oleh keluargaku sendiri
Aku masih bisa belajar dan berbahasa Belanda
Hingga akhirnya aku punya kawan-kawan pena
Untuk menuangkan segala ide dan gagasanku
Keluh kesah dan harapan, kutumpahkan lewat surat-suratku kepada para sahabat korespondensi
Aku dulu ingin sekali bercita-cita hendak pergi ke Negeri Belanda
Atau setidaknya jika tak dapat, ke Batavia/Betawi untuk masuk sekolah dokter
Tapi meskipun keinginan itu pupus, namun gairah itu memuncak lagi untuk belajar menjadi vroedvrouw alias bidan
Sekolah itu masih berada di tanah Jawa, tapi letaknya ada di Jawa Tmur
Di Mojowarno, Kabupaten Jombang
Sebuah sekolah dan rumah sakit yang mulai berkembang dengan keberadaan zending di tempat itu
Sayang keinginanku itu mengalami banyak pertentangan
Padahal di Mojowarno, aku merasakan kerinduan yang mendalam
Ingin membantu rakyat negeriku di bidang kesehatan
"Siapa yang berniat baik, tiadalah sia-sia hidupnya---dan --siapa yang mencari kebaikan: damai jiwa---dan damai jiwa itu kedapatan juga di Mojowarno --siapa tahu di sana lebih banyak harapan dapat daripada di tempat lainnya."
Begitulah surat yang kutuliskan kepada Nyonya Abendanon, 31 Januari 1907
Bapak telah memberikan izinnnya pergi ke Mojowarno
Di sini selain ada rumah sakit, juga ada sekolah guru dan dukun beranak
Tapi memang, keluarga lainnya sekali-kali tiada senang:
"Pekerjaan jadi dukun beranak itu terlalu hina dikerjakan oleh tangan bangsawan ini!"
Oh ya, perlu kujelaskan supaya tidak ada salah paham dengan istilah "dukun beranak" itu
Istilah zaman sekarang ini sebutlah saja dengan bidan
Dua istilah yang memang akan bisa terus diperdebatkan
Karena menurut pemahaman orang-orang akademis, bidan itu gelar setelah sekolah
Tapi dukun beranak itu bisa karena turun-temurun
Ilmunya tidak ilmiah, hanya sekadar warisan, kebiasaan
Sudahlah, aku tak mau melakukan debat kusir soal ini
Yang jelas tujuannya sama baiknya
Menolong ibu yang akan melahirkan jabang bayi
Sebab tiap tahunnya di Pulau Jawa atau seluruh Hindia ini, rerata 20.000 orang perempuan mati beranak dan 10.000 anak-anak mati lahir
Kalian akan banyak menemukan cerita tentang Undhuh-Undhuh
Benar, di tempat yang sama itulah aku dulu ingin melanjutkan pendidikanku
Berbuat kebaikan dan berjasa bagi saudara kami sesama perempuan
Seribu kali senangnya hati daripada hidup bergantung kepada kaum keluarga, apalagi daripada kawin paksa
Waktu itu, rumah sakit yang terletak di pedesaan  ini termasuk yang paling baik
Walaupun lokasinya 17 km arah tenggara dari kota Jombang
Bukan di ibukota provinsi Jawa Timur, kota Surabaya
Justru ketika pecah perang kemerdekaan 10 November 1945, rumah sakit ini menjadi garis belakang
Menjadi tempat pengungsian dan perawatan tentara Indonesia yang terluka
Hingga berlanjut pada tahun 1948, Batalion TNI 42 membumihanguskan rumah sakit yang bermula sejak 8 Juni 1894 itu
Cita-citaku menjadi bidan memang tak kesampaian kala itu
Tapi aku tetap bersyukur karena para perempuan generasi setelah aku, banyak yang memilih jalan cita-citaku
Para perempuan mengabdikan diri menjadi bidan
Bahkan hampir semuanya perempuan
Tak pernah kalian dengar atau tahu
Ada bidan lelaki membuka praktik di sebuah tempat tertentu
Ketika kausebut nama "Bidan", langsung saja yang muncul adalah pikiran tentang sosok perempuan
Tak pernah terbayang ada bidan yang bukan perempuan
Pun demikian dengan dunia keperawatan
Program baru kesarjanaan di perguruan tinggi
Hampir pasti menuju angka mutlak 100 persen  adalah perempuan
Ada juga pria, tapi bisa dihitung jari dalam jumlah per angkatan masuk
Mungkin karena nilai perasaan dan keibuan seorang perempuan
Nampak lebih peka dan berarti di sana
Kepada para perempuan bangsa
Terima kasih sudah mengabdi di berbagai bidang
Tak ada yang tak mungkin zaman sekarang
Kalau punya kemampuan dan diberi jalan, harapan dan cita-cita perempuan, bisa terlaksana
Terima kasih Kartini-Kartini masa kini
21 April 2021
Hendra Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H