Baru sore kemarin nulis  puisi fiksi untuk solidaritas kebencanaan (lihat https://www.kompasiana.com/hendra.setiawan/60068e8fd541df696308bee2/ode-nusantara), malam hari waktu tengok-tengok linimasa medsos (Instagram), pada  meramaikan soal postingan salah satu akun yang dianggap 'kurang ajar'.
Ya, disebut begitu karena sudah menyitir ayat Kitab Suci, tapi rujukan penyebabnya malah pada keyakinan yang lain. Pantaslah umat yang dimaksud gak terima. Maka segeralah diviralkan kepada pegiat medos, baik  yang seiman maupun lintas umat, khususnya para penggerak pro-nasionalisme.
Persoalan bencana alam adalah persoalan bersama. Lintas agama, suku, bangsa, bahasa, dan perbedaan lainnya. Tapi ini ada salah satu akun yang indikasinya 'menjual ayat Kitab Suci', mencari pembenaran diri, sekaligus hendak menyerang agama lain.
Misalnya 2 agama besar di Indonesia, Islam dan Kristen. Islam menokohkan diri sebagai agama damai. Citra ini dirusak oleh oknun yang melakukan tindakan barbar yang mengatasnamakan Islam, tapi ujung-ujungnya melukai konunitas agama di luar Islam.
Demikian juga dengan Kristen yang dikenal dengan agama kasih. Rusak juga citra ini oleh oknum yang memuji diri sendiri tapi merendahkan umat beragama lain di luar Kristen.
Kembali pada soal kebencanaan, khususnya yang disebabkan oleh fenomena alam. Apakah pantas, ketika bencana ini terjadi di wilayah yang terdiri dari beragam komunitas agama, dan suku bangsa, lantas menyalahkan salah satu-nya sebagai biang azab. Apalagi dengan bahan canda yang kurang ajar untuk meminta Sang Kuasa menurunkan azab pada suatu daerah.
Tragedi, bencana, dan musibah adalah tanggung jawab kemanusiaan bersama. Kalau mencari biang kerok penyebabnya, tunggu saja investigasi setelah korban mendapatkan pertolongan dan pemulihan.
Bencana alam semacam banjir atau tanah longsor bisa dianalisa sebab akibatnya. Misalnya dataran tinggi yang mestinya dibiarkan pohon-pohon besar berdiri tegak, ditebangi jadi kawasan perumahan baru atau perladangan. Tentu saja kawasan resapan air berkurang. Tahu berbahayanya justru di musim hutan lebat begini.
Telisik saja, siapa yang melakukan, yang memberi ijin, dan seterusnya. Apakah pembiaran itu dilakukan oleh oknum yang ada dalam struktur pemerintahan? Apakah kejadian yang dibiarkan tersebut melibatkan oknum warga sekitar?. Siapa yang menguasai lahan dan memanfaatkan secara sepihak? Dan seterusnya kejadian itu diselidiki dan didalami.