Apresiasi patut diberikan atas ketertarikan dari perusahaan pengemukan sapi dari Australia, Lawsons Angus dan eksportir sapi Australia Beef Exporter untuk berinvestasi di bidang peternakan. Pihak Australia tersebut, menyatakan kesiapannya untuk mengekspor 2.000 ekor sapi senilai 2 juta dolar Australia ke Aceh untuk program penggemukan dan pemotongan sapi (Serambi indonesia, 8/4/2014).
Bila terealisasi, ini menjadi salah satu catatan keberhasilan dari Pemerintahan Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Tentunya tidak terlepas dari peran Badan Investasi dan Promosi serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh yang telah berhasil menyakinkan investor asing untuk menanamkan investasinya di Aceh.
Bagi subsektor peternakan, ini momentum awal yang baik dalam terciptanya iklim investasi. Selama ini sulitnya menyakinkan investor untuk menanamkan modalnya di subsektor peternakan menjadi kendala utama bagi pengembangan agribisnis peternakan di Aceh. Dengan kehadiran investor dari Australia ini diharapkan menjadi “entry point” bagi investor swasta lainnya untuk “berani” berinvestasi di Aceh, baik di subsektor peternakan maupun sektor-sektor lainnya.
Potensi dan Tantangan Pengembangan Peternakan sapi
Aceh Besar memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan peternakan sapi potong. Ini tidak terlepas dari dukungan sumber daya lokal yang dimilikinya, seperti: (a) ketersedian bahan baku pakan dari hasil limbah pertanian (jerami padi,dedak padi, dsb), (b) padang pengembalaan yang luas ( salah satunya sepanjang bantaran krueng aceh), (c) ketersedian sarana peternakan yang representatif (RPH, Pasar Hewan maupun Puskewan), (d) infrastruktur pendukung baik (jalan, telekomunikasi dan transportasi, pelabuhan Malahayati), dan tidak kalah pentingnya (e) letak geografis Aceh Besar yang berbatasan langsung dengan Kota Banda Aceh yang notabene sebagai pusat pemasaran komoditi peternakan.
Di tinjau dari sosio-kultural, pemeliharaan ternak sapi telah diusahakan secara turun-temurun di Aceh Besar. Bahkan adu lembu atau dalam istilah bahasa Aceh disebut “Peupok Lemo” sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Aceh Besar yang masih dilakukan hingga sekarang. Ini mengartikan bahwa secara sosio-kultural masyarakat dapat menerima dengan baik keberadaan peternakan sapi di Aceh Besar.
Secara umum, usaha peternakan sapi di Aceh Besar masih diposisikan sebagai usaha sampingan/sambilan maupun tabungan keluarga, yang dicirikan: (a) skala usaha kecil dan penggunaan modal kecil; (b) penerapan teknologi usaha belum optimal; (c) sistem pemeliharaan tradisional, dan (d) orientasi usaha. Kondisi ini ditengarai sebagai penyebab rendahnya produksi dan produktivitas ternak yang selanjutnya berdampak pada rendahnya pendapatan dan kesejahteraan peternak. Faktanya, indeks Nilai Tukar Petani Subsektor Peternakan (NTP-Pt) sebagai salah satu indikator kesejahteraan peternak masih menunjukkan angka yang rendah. Rilis terbaru dari BPS Aceh (1 April 2014), NTP-Pt per Maret sebesar 98,33 atau masih berada di bawah angka 100 dari tahun dasar 2012.
Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi pengembangan subsektor peternakan di Aceh. Di satu sisi, potensi sumberdaya lokal sangat mendukung bagi pengembangan peternakan, namun di sisi lain tingkat kesejahteraan peternak masih belum memberikan hasil yang menggembirakan.
Contract Farming
Rencana kehadiran investor Australia diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pengembangan peternakan sapi di Aceh Besar, khususnya peningkatan kesejahteraan peternak lokal. Salah satunya upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan peternak lokal melalui kerjasama yang saling menguntungkan. Mekanisme kerjasama yang dapat dijadikan alternatif adalah sistem kontrak (contract farming).
Dalam sistem kontrak (contract farming), Investor Australia diposisikan sebagai inti yang dapat berperan sebagai pemasok ternak sapi untuk digemukkan oleh peternak dan penyedia pemasaran. Sedangkan peternak lokal di posisikan sebagai plasma yang bertanggung jawab dalam penggemukan sapi.
Efektivitas biaya merupakan salah satu keuntungan yang diperoleh perusahaan/investor dari sistem kontrak tersebut. Investor tidak mengeluarkan biaya membangun kandang, tenaga kerja dan biaya untuk pakan. Di sisi peternak lokal keuntungan yang diperoleh berupa: adanya jaminan pasar dan transfer teknologi.
Namun demikian, dibutuhkan komitmen yang tinggi dari kedua belah pihak, baik perusahaan (investor) maupun peternak lokal sendiri. Perusahaan harus transparansi dalam penentuan harga produk, di sisi peternak lokal, adanya jaminan produksi ternak sesuai dengan kesepakatan kontrak.
Dengan sistem kontrak (contract farming) ini, diharapkan terjadi perubahan pola usaha peternak sapi di Aceh dari tradisional menjadi usaha komersial yang berorientasi pada profit.
Dimuat: Tabloid TABANGUN ACEH (Edisi : 41/April 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H