Mohon tunggu...
Hendra Doy
Hendra Doy Mohon Tunggu... Guru - Hendra Doy adalah nama pena. Nama asli adalah Paian Tampubolon dilahirkan di Sipahutar, 16 Januari 1966. Pendidikan Dasar dan Menengah Pertama ditempuh di Kampung Halaman. Sekolah Menengah Atas diselesaikan di P. Siantar. Lulus S1 Teologi dari HITS Karawaci, Tangerang.

Hendra Doy seorang yang selalu kritis terhadap perilaku pejabat publik sejak masa ORBA. Selama ini hanya bisa membaca sikap kritisnya dalam tulisan orang lain. Sekarang ingin menulisnya sendiri, dan semoga dibaca orang lain. Hendra Doy tidak berafiliasi dengan organisasi mana pun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dalam Hal Korupsi, Kita Membangun Dua Bahaya Laten

8 September 2012   01:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:47 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia sudah sering ada dalam daftar 10 negara paling korup di dunia, dan akan terus begitu pada tahun-tahun yad. Pemerintah cukup sigap merespons saran dari berbagai pihak untuk memberantas korupsi dengan mendirikan lembaga atau komisi pemberantasan korupsi, bahkan membentuk pengadilan khusus untuk para koruptor. Aktivis anti korupsi pun dibiarkan menjamur. Namun, semua itu tidak akan membuat aktivitas korupsi berkurang dan jumlah koruptor menyusut. Ada dua bahaya laten yang selama ini kita bangun yang memberi kontribusi pada semakin maraknya korupsi di tanah air.

Kalau kita mau jujur,  kita adalah bangsa yang berorientasi fulus. "Sukses" kita ukur dengan berapa banyak materi terutama uang yang kita peroleh. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu, saya mendengar obrolan orang-orang tua di kampung halaman yang membandingkan anaknya yang tidak sukses di Ibukota dengan anak tetangganya yang "sukses" sebagai pegawai negeri di kota yang sama. Salah seorang dari mereka berkata, "Saya menulis surat kepada anak saya. Saya marah besar kepadanya, dan saya bilang dia bodoh. Saya katakan, 'Lihat si Polan, dalam 10 tahun terakhir dia sudah empat kali pulang kampung. Dia membawa mobilnya. Dia sudah memiliki rumah yang besar. Dia membangun rumah orangtuanya juga. Lebih hebat lagi, dia sudah menolong saudara-saudaranya menjadi pegawai negeri. Sementara kamu, tidak memiliki apa-apa'. Ya, saya bilang saya tidak bernasib mujur mengirim anak saya ke Ibukota". Mendengar itu, saya tertegun. Pada waktu itu, saya tidak setuju dengan pandangan orangtua itu. Saya tidak tahu mengapa.

Setelah bermukim di Ibukota, tidak jarang saya mendengar obrolan bernada sama bahkan di kalangan menengah atas sekalipun. Ternyata, orientasi fulus itu bukan sikap etnis tertentu, bukan pula mindset nya orang desa saja. Sekarang, ketika mendengar obrolan seperti di atas, saya ragu kalau bangsa ini bisa memiliki moral yang andal. Kita bisa berdebat apakah korupsi budaya bangsa atau bukan. Bagi saya, ketika suatu bangsa memiliki orientasi uang, bangsa itu berpotensi melakukan segala cara untuk mendapatkan uang. Cara-cara itu menjadi budaya. Bangsa ini harus mengikis sifat berorientasi fulus ini.  Sejatinya, dengan membangun diri sindiri untuk menjadi contoh (dan mudah-mudahan menjadi tokoh) anti korupsi di lingkungan kita sendiri.

Bahaya laten lain yang sedikit banyak memberi kontribusi pada maraknya korupsi di Indonesia adalah prasangka ras (agama). Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya kalau prasangka ras dan agama bisa menyuburkan korupsi walaupun tidak jarang saya mendengar ceramah dari rumah-rumah ibadah yang menyuarakan: "Korupsi semakin merajalela di tanah air. Kita ikut prihatin. Kita semakin prihatin kalau korupsi dilakukan oleh orang-orang yang seiman dengan kita." Sayangnya, ceramah itu hanya sekadar menginformasikan bukan mengimbau atau memberikan solusi bagaimana mencegah korupsi untuk tidak merajalela di tanah air.  Pula, ceramah semacam ini bisa menimbulkan prasangka agama karena pendengar yang memiliki pemikiran sederhana bisa menafsirkan bahwa korupsi hanya dilakukan oleh 'mereka yang tidak seiman dengan kita'. Opini yang salah ini bisa mendorong orang-orang ini melakukan korupsi tanpa merasa bersalah. "Bukankah koruptor itu mereka yang tidak seiman dengan saya?" Kira-kira begitu dia membuat kesimpulan.

Percakapan teman-teman di tempat kerja menyangkut prasangka agama ini sungguh memprihatinkan. Ini terjadi lima tahun yang lalu. Seorang rekan kerja wanita menceritakan suatu 'keanehan' di kantor suaminya. Dia berkata, "Suami saya mengenal si X marga Y sejak suami saya bekerja di kantor A. Tapi si X ini sudah lebih dulu bekerja di kantor itu. Suami saya heran melihat si X ini hanya memiliki rumah yang sederhana, ke kantor pun dia hanya bawa mobil keluaran 80-an. Sangat seherhana. Dia tidak mau korupsi. Heran ya! Padahal dia Kristen! " Mendengar ini, saya sedih, dan tidak sanggup merangkai kata-kata untuk diucapkan. Dalam hati, saya berkata "negeri ini memang parah'. Saya hanya berharap saya salah ketika menyimpulkan bahwa prasangka ras dan agama ini sudah berada dalam alam bawah sadar bangsa ini. Setiap kita harus memberi nilai-nilai universal kepada alam bawah sadar kita kalau kita memang mau memberantas korupsi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun