[caption id="" align="aligncenter" width="618" caption="Almarhum Taufiq Kiemas (Kompas.com)"][/caption] Menonton proses pemilihan pimpinan DPR Rabu malam (1 Oktober 2014)Â sampai Kamis dinihari (2 Oktober 2014) benar-benar memprihatinkan melihat perilaku politisi Koalisi Indonesia Hebat (PDIP-Nasdem-Hanura-PKB), para politisinya berlaku bak politisi partai oposisi. Rupanya di DPR RI yang relatif terbelah dua antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) plus Partai Demokrat (PD), jumlah anggota parlemen dari KIH kalah banyak dibanding KMP apalagi semalam PD gabung dengan KMP untuk mendapatkan satu posisi Wakil Ketua DPR. Mana kehebatan diplomasi politisi PDIP? Pramono Anung, Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, Efendi Simbolon hanya melongo, Arya Bima dan Maruarar berteriak-teriak di depan Ketua Sementara DPR melancarkan protes, hanya Tjahjo Kumolo yang berbicara tenang, terarah, didengar Ketua Sementara DPR dan didengar peserta sidang paripurna, hanya sayang ternyata ia berbicara yang ujung-ujungnya walk out. Ketegasan sikap diperlihatkan politisi Nasdem Prof. Bahtiar Aly. Sekalipun ia berada di kelompok KIH, tak segan-segan sebelum membacakan susunan pimpinan Fraksi Nasdem, ia menegur keras perilaku banyak politisi yang berkerumun di depan Ketua Sidang Sementara. Mereka yang berkerumun sempat diam dan sebagian kembali ke tempat masing-masing setelah ditegur teman koalisinya. Apa yang terjadi selama waktu jeda sidang yang disediakan untuk melakukan lobby? Paling tidak saya menyaksikan ada dua kali lobby yang disebutkan Ketua Sidang Sementara DPR untuk mempertemukan para pimpinan fraksi. Hasilnya tetap saja PDIP benar-benar hanya bisa gigit jari, tak kebagian satu kursipun dalam jajaran pimpinan DPR. Menurut UU MD3 yang baru unsur calon pimpinan DPR memang diajukan dalam satu paket oleh setiap gabungan fraksi, sayangnya jumlah koalisi KIH hanya terdiri dari empat fraksi, kurang satu fraksi dari yang disyaratkan peraturan. Disinilah saya melihat tokoh-tokoh politisi PDIP benar-benar seperti macan ompong, hanya bisa berteriak-teriak tak ada yang mampu berdiplomasi menarik satu atau dua partai di "seberang" untuk bergabung dengan KIH. Seandainya PPP dan PD bisa mereka tarik mungkin pimpinan parlemen akan didominasi KIH. Siapa yang melobby SBY? Siapa yang melobby Surya Darma Ali atau Emron Pangkapi dan Romahurmuzi? Siapa yang melobby Hatta Rajasa? Megawati mungkin terlalu tinggi hati untuk mendekati pimpinan tiga partai di "seberang", mungkin inilah buah yang ia petik dari "permusuhannya" selama 10 tahun dengan SBY, padahal pihak SBY berkali-kali menyatakan ingin berdialog sejak tahun 2004 sampai tahun 2014. Seandainya saja ada Taufik Kiemas, kemungkinan PDIP tidak akan terpuruk begini pada hari pertama sidang DPR. Bukankah dengan keluwesannya bergaul ia bisa dekat dengan Presiden SBY, sampai ia mendapat pos Ketua MPR. Paling tidak sekali saya lihat pak Taufik Kiemas mengajak Puan Maharani bertemu Presiden SBY, entah untuk urusan apa, seandainya tidak ada 'hambatan' dari bu Mega, saya menduga satu pos menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II mungkin diberikan ke Puan Maharani. Sayang pak Taufik Kiemas sudah berpulang ke rahmatulloh, sehingga beliau tak bisa membantu melobby pak SBY dan pak Hatta Rajasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI