Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pabrik Gas di Bogor

6 Januari 2014   23:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi orang yang pernah tinggal di Bogor mestinya tahu di Bogor ada sebuah jalan bernama jalan Pabrik Gas, sekaligus menunjukkan di jalan tersebut terletak sebuah pabrik yang memproduksi gas. Pabrik ini sudah ada sejak zaman Normal -sebutan zaman Belanda sebelum Jepang menduduki Hindia Belanda awal 1940an- bermula dari pabrik gas milik L.I Eindhoven & Co yang didirikan tahun 1859 dimulai untuk melayani kota Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor). Sampai sekarang lokasi pabrik gas  masih ada dengan ciri beberapa tangki besar penyimpan gas terlihat dari jalan raya. Dulu gas yang disalurkan adalah gas yang diproduksi sendiri dengan bahan baku batubara, sehingga saat pipa gas dibersihkan masih terlihat lumpur hitam, residu batubara.

Setelah lebih dari 100 tahun apakah ada perubahan dengan Pabrik Gas di Bogor?  Pada zaman Normal tentu hanya melayani rumah-rumah tuan Belanda, kantor-kantor Pemerintah Hindia Belanda dan penernagan jalan, tahun 1960an - 1970an konsumen gas adalah perumahan-perumahan elit di kota Bogor, penerangan jalan sudah menggunakan lampu listrik,  distribusi gas tidak merakyat, mungkin pertimbangannya hasil produksi gas tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan seluruh rumah di kota Bogor. Sekarang konsumen gas sudah cukup merata sampai ke pinggiran kota dan pelanggannya tidak hanya orang gedongan, warung nasipun menjadi pelanggannya. Perubahan lainnya gas yang digunakan bukan hasil pengolahan batubara lagi tapi gas alam, sehingga bau gas yang saya kenal dulu tidak ditemukan lagi.

Beberapa kerabat yang masih tinggal di kota Bogor cerita, mereka tak pusing dengan kenaikan harga Elpiji 12 kg yang tiba-tiba meroket menjadi Rp 130 ribuan/unit, walaupun akhirnya satu jam lagi sejak saat saya menulis kisah ini kabarnya akan turun lagi ke harga sekitar Rp 90 ribuan. Macam main ular tangga saja. Mereka juga bilang biaya bulanan gas dari pabrik gas eh maaf sekarang dari PGN (Perusahaan Gas negara) juga murah, tentu tergantung jumlah pemakaian, yang diukur dengan meteran seperti meteran air PDAM.

Penasaran ingin tahu biaya bulanan gas dari PGN, saya SMS adik saya yang membuka warung makan di Bogor. "Berapa kamu keluarkan biaya gas PGN per bulan?". Jawabnya "Lebih murah jika dibanding menggunakan Elpiji". Adik saya mengeluarkan rata-rata Rp 3 juta/bulan untuk membayar gas PGN, sedangkan bila menggunakan Elpiji menurut adik saya akan mengeluarkan biaya sekitar Rp 4,5 juta/bulan, sesuai pengalamannya pernah menggunakan Elpiji sebelum berlangganan gas PGN. Biaya Elpiji tersebut berdasarkan harga sebelum 1 Januari 2014.

Jika perbandingan biaya gas PGN vs Elpiji 3 berbanding 4,5 atau 2 berbanding 3, kapan PGN melebarkan sayap ke kota di sebelah utara Bogor, maksudnya Depok bukan Jakarta. Bila mau melebarkan sayap ke banyak kota, PGN tentu akan makin besar pendapatannya, mengingat bisnisnya relatif tak ada pesaing.

Yang menjadi pertanyaan, pada PGNinside edisi 59/2013 halaman 10, saya menemukan ungkapan "Kondisi penguasaan terhadap pengelolaan sumber daya gas alam Indonesia mengakibatkan 'Ayam mati di lumbung padi'". Maksudnya apa? Apa karena ladang gas alam dikuasai perusahaan asing? atau gas alam terlalu banyak diekspor ke luar negeri?. Bila benar lebih dari 50% gas alam Indonesia terikat kontrak penjualan ke negara asing, apakah tak ada celah untuk merevisi perjanjian jual beli gas tersebut? Sulit barangkali ya, bilapun bisa direvisi atau dibatalkan jangan-jangan dendanya segede alaihim (ungkapan slank lokal Bogor zaman dulu, artinya besar sekali).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun