Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) mewajibkan publikasi karya tulis ilmiah di jurnal ilmiah bagi mahasiswa S1, S2 dan S3, berlaku mulai kelulusan Agustus 2012. Berarti jika lulus pada 31 Juli 2012 masih bebas dari kewajiban menulis karya tulis ilmiah yang terpublikasi di jurnal ilmiah yang ditetapkan untuk masing-masing jenjang pendidikan.
Tak salah pak Dirjen Dikti membuat keputusan di wilayah kewenangannya, yaitu pendidikan tinggi. Teoritis bila perintah pak Dirjen dapat diterapkan tanpa hambatan, maka strategi pak Dirjen Dikti untuk melipatgandakan karya tulis terpublikasi di jurnal ilmiah yang diakui akan terpenuhi.
Persoalannya apakah kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan mulus ?  Untuk peserta program doktor dan magister barangkali masih masuk akal karena mereka wajib membuat disertasi atau tesis atas suatu penelitian yang berbobot dan asli bukan jiplakan. Bagus juga persyaratan ini untuk meningkatkan kualitas doktor dan magister produksi dalam negeri yang terkesan sangat produktif di beberapa bidang. Lihat saja begitu banyaknya politisi dan birokrat yang bergelar doktor dan bertebarannya anggota DPR an birokrat sekolah doktor sambil bekerja. Toh akhirnya bagi doktor-doktor semacam ini setelah jadi doktor berhenti pula aktivitas penelitiannya, bukan apa-apa karena penelitian bukan bidang kerja mereka.
Bagaimana dengan persyaratan publikasi karya tulis ilmiah bagi mahasiswa S1. Sebenarnya pak Dirjen agak kontradiktif kebijakannya mengingat di lapangan sudah sejak lama berlaku jalur non skripsi di beberapa universitas, atau bila ada skripsi, mungkin hanya berupa kajian atau penelitian ringan yang mungkin saja belum dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah kelas atas.  Tentu hasil penelitian semacam ini sulit menembus suatu jurnal ilmiah dan akibatnya mahasiswa S1 akan terhambat studinya, dari seharusnya 4 tahun menjadi 5 - 6 tahun.
Beberapa Alternatif Mengatasi Masalah
Saya berpendapat harus ada perbaikan atau perubahan mendasar agar mahasiswa S1 mampu menulis karya ilmiah terpublikasi di jurnal ilmiah terakreditasi atau kebijakan ini diganti dengan syarat yang lain :
- Jalur non skripsi dan non tesis harus dihapus baik di program S1 maupun S2 (bila ada).
- Program sarjana 4 tahun harus dikembalikan ke sistem lama menjadi 6 tahun atau paling sedikit 5 tahun, dengan menambah dan memperkaya mata kuliah statistik , metodologi penelitian, perancangan percobaan atau mata kuliah sejenis yang mendukung agar suatu penelitian mendapat status bobot ilmiah standar.
- Bila program 4 tahun akan dipertahankan, sebaiknya pada semester 7 dan 8 atau setara tingkat 4, disiapkan jalur science dan jalur business & technology.  Jalur science disediakan bagi mahasiswa yang berminat melanjutkan ke program magister dengan tujuan kelak menjadi peneliti, sedangkan jalur business & technology untuk mahasiswa yang ingin bekerja di jalur non peneliti. Mereka yang mengambil jalur science-lah yang diwajibkan menulis karya ilmiah terpublikasi. Pada kenyataannya kelak akan sulit membendung keinginan mahasiswa jalur non science untuk ditolak ikut program S2.
- Keharusan menulis karya ilmiah terpublikasi bagi mahasiswa S1, yang sekolahnya diprogram 4 tahun, diganti menjadi kewajiban mempublikasikan tulisan ilmiah populer di jurnal-jurnal kampus atau koran dan majalah, di main stream media maupun media online atau mungkin blog seperti Kompasiana. Dosen pembimbing masing-masing menjadi mentor, reviewer sekaligus editor bagi tulisan mahasiswa-mahasiswanya.
Tugas menulis karya ilmiah terpublikasi seharusnya menjadi kewajiban peneliti Indonesia yang bertebaran di Perguruan Tinggi -yaitu para dosen-, BPPT, LIPI, Badan Penelitian dan Pengembangan di setiap kementerian dan sewajarnya dikoordinasi oleh Kementerian Riset.  Dengan dana riset yang disediakan pemerintah sangat wajar bila setiap orang -terutama yang berstatus PNS- yang terdaftar sebagai peneliti diwajibkan menulis karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan terpublikasi di jurnal ilmiah yang ditetapkan. Barangkali ada pengecualian bagi penelitian yang bersifat sangat strategis bagi keamanan dan ketahanan negara.  Ini saja dulu dijalankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H