[caption id="attachment_411325" align="aligncenter" width="373" caption="Sebuah Flow Station Offshore milik PHE ONWJ (koleksi pribadi)"][/caption]
Berkah otonomi daerah dan pemerintahan yang demokratis salah satunya adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur serta Kabupaten Kutai Kartanegara minggu lalu dan mungkin pada hari-hari berikutnya duduk bersama dalam ruang tertutup, membahas masa depan Blok Mahakam, ladang migas yang per 1 Januari 2018 akan dialih-kelola oleh Pertamina dari kontraktor saat ini, Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation.
Kementerian ESDM telah menunjuk Pertamina sebagai pengelola 100% Blok Mahakam mulai 1 Januari 2018, saat ini Pertamina menyiapkan masa transisi -dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corp- yang diusulkannya mulai 1 Januari 2016. Penyiapan masa transisi bersifat teknis dan bisnis. Secara teknis Pertamina sebagai pengelola pewaris utama Blok Mahakam, melalui Direktur Hulu, Syamsu Alam, menyatakan bahwa mereka punya pengalaman melakukan alih kelola blok migas di West Madura Offshore (WMO) dari Kodeco tahun 2011 dan sebelumnya Offshore North-West Java (ONWJ) dari British Petroleum (BP) tahun 2009.
Masa transisi dari BP menurut Syamsu Alam cukup waktu, sehingga produksi migas di ONWJ dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Sedangkan alih kelola WMO dari Kodeco diputuskan oleh Pemerintah last minute, tanpa persiapan memadai, berakibat produksi turun tajam dan untuk mengembalikannya perlu waktu dua tahun. Inti pesan Direktur Hulu Pertamina adalah agar ada waktu transisi yang cukup untuk mengambil alih kelola Blok Mahakam, agar penerimaan negara dari migas tetap terjaga.
[caption id="attachment_411463" align="aligncenter" width="385" caption="Flow Station offshore di South Mahakam Field (koleksi pribadi)"]

Bila pengalaman teknis sudah dimiliki oleh Pertamina -termasuk mengintegrasikan SDM berkompetensi tinggi dari operator asing, yang 96% orang Indonesia, secara bermartabat- , bagaimana dengan pengalaman finansial, lebih khusus lagi kemampuan finansial untuk membiayai industri migas yang padat modal di Blok Mahakam? Pada "Seminar Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Migas di Indonesia", yang diselenggarakan Kompasiana di Hotel Santika Premiere -Slipi, Jakarta Barat- pada 13 April 2015, Direktur Hulu Pertamina juga menyatakan kesiapan Pertamina membiayai operasi Blok Mahakam. Memangnya seberapa besar modal yang dibutuhkan untuk mengoperasikan blok Mahakam? Pertamina harus menyediakan dana USD 3 milyar setara Rp 38 trilyun per tahun, artinya selama enam tahun - perkiraan masa produksi sisa migas Blok Mahakam- modal yang bergulir akan bernilai USD 18 milyar setara Rp 228 trilyun.
Sesuai pernyataan Menteri ESDM bahwa Pemerintah Daerah akan mendapat jatah 10% saham atau Participating Interest, maka Pemda Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara mesti siap dana sebesar Rp 3,8 trilyun, sesuai persentase kepemilikan saham yang direncanakan Kementerian ESDM.
Timbul dua masalah, pertama Gubernur Awang Faruk Faisal dalam presentasinya berkeinginan daerah mendapat jatah 19% dan Gubernur minta Pemerintah Pusat tidak menghalangi niatnya bekerjasama dengan swasta untuk menyediakan dana sebagai salah satu partisipan pengelola Blok Mahakam. Dua masalah inilah yang diminta Kementerian ESDM dibicarakan bersama di ruang tertutup dan baru diinformasikan ke masyarakat setelah ada keputusan final.
[caption id="attachment_411279" align="aligncenter" width="365" caption="Blok Mahakam, Kalimantan Timur (http://www.inpex.co.jp/english/business/indonesia.html)"]

Soal persentase Participating Interest apakah 10% sesuai dengan pasal 34 Peraturan Pemerintah no 35 tahun 2004 -tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi-Â atau mau diperbesar menjadi 19% seperti keinginan Gubernur Kalimantan Timur atau disepakati in between saja, perundingan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan memutuskan hal itu, bagaimanapun Peraturan Pemerintah yang masih berlaku tak dapat ditabrak begitu saja.
Mengenai keinginan Gubernur Awang Faruk Faisal untuk mengajak investor swasta masuk membiayai BUMD yang dibentuk sebagai representasi Provinsi Kalimantan Timur dan Kutai Kartanegara, layak untuk direnungkan, apakah kerjasama itu akan menguntungkan rakyat Kalimantan Timur? Sebagai penyandang dana berapa persen bagian pihak investor swasta dan berapa persen bagian pihak BUMD? Bagaimana jika investor meminta 70% dan BUMD hanya diberi bagian 30%, karena BUMD hanya bermodal hak saja?