Pada suatu pemilihan umum kita kenal istilah vote getter, biasanya seorang yang dikenal publik dicalonkan untuk menjadi anggota parlemen, kemudian ia mundur bila terpilih, kejadian ini banyak ternjadi di masa Orde Baru ketika dalam Pemilu Golkar mengajukan nama-nama terkenal seperti Sudharmono, BJ Habibie, Abdul Gafur hanya sebagai vote getter saja. Pada masa reformasi yang disebut vote getter tetaplah seseorang yang namanya dikenal baik oleh publik, namun ia berkampanye untuk orang lain, misalnya ketika Joko Widodo berkampanye dalam Pemilukada (pemilihan gubernur) di Jawa Barat -membantu calon PDIP Rieke Dyah Pitaloka-, berkampanye di Jawa Tengah -membantu calon PDIP Ganjar Pranowo-, berkampanye di Sumatera Utara -membantu calon PDIP Efendi Simbolon- atau kampanye di Kabupaten dan Kota Bogor saat membantu calon Bupati dan Walikota Bogor asal PDIP.
Bagaimana dengan judul yang saya tulis 'Jokowi is The Seat Getter'? Mudah-mudahan istilah ini orisinil -bila tidakpun ya tak apa apa sih-, karena baru terlintas kemarin sore saat berdiskusi melalui WA dengan beberapa teman akrab semasa remaja dulu. Kenapa istilah 'seat getter' muncul, mungkin kejadian ini hanya kebetulan terjadi pada Jokowi, mungkin juga kejadian yang dirancang sebelumnya. Pertama saat menjadi Walikota Solo, Jokowi didampingi seorang Wakil Walikota bernama FX Rudyatmo, yang akhirnya ketiban rezeki menjadi Walikota Solo, ketika Jokowi yang masih menjabat Walikota Solo periode kedua terpilih menjadi Gubernur Jakarta pada akhir tahun 2012. Kejadian kedua sebenarnya belum terjadi, tapi kemungkinan besar terjadi, seandainya Jokowi yang baru saja resmi ditetapkan sebagai Calon Presiden RI dari PDIP untuk Pemilihan Presiden tahun 2014 terpilih menjadi Presiden RI. Yang ketiban rezeki kali ini adalah Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang berpeluang besar menjadi Gubernur Jakarta menggantikan Jokowi, apakah karena Jokowi terpilih menjadi Presiden RI atau karena dengan alasan nyapres Jokowi mengundurkan diri sebagai Gubernur Jakarta yang baru dipegangnya selama sekitar satu setengah tahun saja.
Benar Jokowi seorang seat getter? Dari ulasan di atas mau tidak mau memang demikian, terlepas karena faktor kebetulan atau hasil rancangan. Untuk menggugurkan ungkapan 'Jokowi is The Seat Getter', FX Rudyatmo pada Pemilukada Walikota Solo berikutnya harus ikut mencalonkan diri dan berusaha memenangkan kursi Walikota melalui Pemilukada, jika kalah ungkapan seat getter untuk Jokowi mengandung kebenaran. Demikian pula Ahok seandainya jadi menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, pada pemilukada DKI Jakarta tahun 1917 Ahok harus ikut mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta, bila menang maka gugurlah istilah 'Jokowi is The Seat Getter', bila terjadi kebalikannya yah memang 'Jokowi is The Seat Getter'.
Kita lanjutkan kemungkinan apa yang akan terjadi selanjutnya dengan melihat siapa Calon Wakil Presiden yang akan mendampingi Jokowi, apakah Puan Maharani atau Muhammad Prananda? Apakah di tengah jalan Jokowi akan 'pergi' meninggalkan Republik Indonesia? Kemungkinannya sangat kecil memang, misalnya ia dipilih jadi Sekjen PBB di New York setelah tiga tahun jadi Presiden dan ia menerimanya, bukankah kejadian 'Jokowi is The Seat Getter' akan terulang kembali?
Pemilihan Jokowi sebagai Calon Presiden dari PDIP memang satu keputusan yang mau tak mau harus diambil oleh Megawati Sukarnoputri, karena popularitas dan elektabilitas Jokowi ternyata jauh melampaui siapapun termasuk Ketua Umum PDIP. Soal kapabilitas sebagai Calon Presiden belum jelas benar, mari kita lihat dari visi politik-sosial budaya-ekonomi-hankam Jokowi dalam kampanye Calon Presiden nanti, akan terlihat kok kapabilitas seseorang dari cara ia berbicara.
Begitulahringkasandiskusi melalui dunia maya yang terjadi spontan kemarin sore di tengah kemacetan lalu lintas di Jakarta dan Depok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H