Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gubernur Cirebon Akankah Terealisasi?

1 September 2012   02:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:04 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1346466081917877442

[caption id="attachment_209901" align="aligncenter" width="532" caption="Peta Eks Karesidenan Cirebon (Sumber: cheribonâ��westâ��javaâ��19311â��e1295163385594.jpg groups.yahoo.com)"][/caption] Yang dimaksud Cirebon pada judul tulisan ini adalah bekas Karesidenan Cirebon yang sekarang terdiri dari Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka. Seorang teman asal kota Cirebon beretnis Sunda pernah berkomentar saat Banten resmi menjadi provinsi terpisah dari Jawa Barat, "Anaknya ngeduluin bapaknya jadi provinsi ...".   Teman saya mungkin berpikir dulu Banten dibentuk oleh kekuatan asal Cirebon, yaitu pasukan Demak yang dipimpin Fatahillah, yang merupakan menantu Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. Sultan Banten pertama setelah Banten melepaskan diri dari Kerajaan Demak bernama Hasanuddin adalah putra Fatahillah atau cucu Sunan Gunung Jati yang memiliki kekuasaan di wilayah Cirebon.  Wajarlah teman saya merasa Cirebon lebih tua dari Banten. Sudah beberapa tahun ini didengungkan wacana pembentukan Provinsi Cirebon dengan alasan antara lain untuk mempercepat kemajuan wilayah bekas Karesiden Cirebon dengan memanfaatkan potensi ekonomi minyak dan gas serta pemberdayaan pelabuhan Cirebon.   Mungkin saja dibalik wacana beralasan ekonomi ada alasan tersirat dari elit politik dan elit kebudayaan, bukankah Kesultanan Cirebon secara budaya masih berdiri hingga saat ini, tentu bagi keluarga kesultanan akan lebih memilih posisi mirip Kesultanan Yogyakarta yang diakui Pemerintah Pusat sebagai provinsi bahkan Daerah Istimewa.  Walaupun tentu saja tak mungkin terjadi penetapan Sultan Cirebon menjadi Gubernur Provinsi Cirebon -bila gagasan provinsi terwujud-, mengingat sejarah pada saat sekitar tahun 1945 antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Yogyakarta berbeda. Sebagian kerabat saya berdomisili di Kabupaten Kuningan, ternyata tak terlalu antusias mengamini wacana pembentukan Provinsi Cirebon ini, alasannya budaya mereka yang tinggal di pegunungan pada dasarnya berbeda dengan Cirebon dan Indramayu di pesisir, bahasa daerahnyapun berbeda, walaupun secara ekonomi Kuningan lebih berkiblat ke Cirebon dibanding ke Bandung. Bagaimana dengan Kabupaten Majalengka yang juga beretnis Sunda?  Sudah terdengar banyak penolakan pula di Majalengka atas wacana pembentukan Provinsi Cirebon.  Sama dengan Kuningan, sekalipun Majalengka secara ekonomi lebih dekat ke Cirebon, budaya dan bahasa di  Majalengka lebih dekat dengan Sumedang, Ciamis dan Pasundan lainnya dibanding dengan Cirebon.  Cirebon harus mempunyai daya tarik sekuat Jakarta bila ingin menarik Kuningan dan Majalengka. Kemungkinan bila akhirnya terbentukpun, provinsi Cirebon akan menjadi provinsi kecil saja, yang terdiri dari Cirebon dan Indramayu.  Kuningan dan Majalengka kemungkinan tak akan mau bergabung dengan Provinsi Cirebon.  Akankah dipaksakan dibentuk Provinsi Cirebon yang hanya terdiri dari Cirebon dan Indramayu?  Sejauh otonomi daerah lebih kuat di tingkat kabupaten/kota, sebaiknya para bupati dan walikota di eks  Karesidenan Cirebon meningkatkan pemberdayaan pembangunan kabupaten dan kota mereka, yang sebenarnya sudah ada di tangan daripada membentuk provinsi baru dan menciptakan birokrasi baru yang mahal biayanya. Saya pribadi berpandangan bukan tak mungkin fungsi Gubernur provinsi suatu saat akan mirip fungsi Pembantu Gubernur -dulu disebut Residen- di setiap eks Karesidenan -di pulau Jawa-,  yang fungsinya hanya koordinasi antar Kabupaten dan Kota di wilayahnya, tanpa ada kekuasaan eksekutif.    Atau sekalian saja jabatan Bupati/Walikota dihapus, ganti dengan istilah Gubernur, bukankah otonomi daerah sebagian besar di tangan mereka?  Hal ini sekaligus untuk menghindarkan pembangkangan seorang bupati yang tak mau menghadiri rapat yang diselenggarakan gubernurnya, seperti pernah terjadi di Sumatera Selatan. Rasanya bukan ini tujuan otonomi daerah yang digagas oleh Profesor Riyaas Rasyid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun