Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Akhirnya Petinggi Hankam Berkata Keras Soal PKI

9 Mei 2016   16:02 Diperbarui: 9 Mei 2016   17:15 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menonton sebuah acara sebuah TV Swasta yang sangat mengakomodasi keinginan "korban kekerasan" yang dilakukan "negara" pasca meletusnya pemberontakan G30S/PKI, sedikit gerah juga. Para anak PKI, ex anggota PKI dan organisasi sayapnya saat 50 tahun lalu, tampaknya sedang menuntut keadilan atas kekerasan yang mereka alami setelah G30S/PKI gagal total.

Acara di TV swasta tersebut bukan pertama kali menunjukkan eksistensi dan menguatnya simpatisan PKI, sebelumnya sudah ada acara "budaya" di TIM dengan tajuk "belok kiri", yang akhirnya acara dipindahkan ke kantor LBH karena akan "disweeping" massa sebuah ormas yang tak suka PKI seperti akan dihidupkan lagi, dengan dalih HAM.

Ormas yang membuat bubar acara di TIM memsng dikenal sangar, tetapi dalam aktivitas anti PKI, rasanya masih sejalan dengan aturan hukum yang berlaku di Republik Indonesia bahwa paham Komunis dilarang di Indonesia. Kok ada kelompok manusia yang atas nama HAM membela seolah-olah PKI adalah korban pada peristiwa September 1965.

Saya sendiri walaupun saat itu baru kelas 5 SD cukup merasakan kecongkakan PKI di kota Bogor. Saya juga menonton TV ketika tujuh Pahlawan Revolusi, yang dibunuh PKI, ditemukan dalam sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Juga nonton TV saat para Pahlawan Revolusi dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan.

Euphoria merasa di atas angin (?) juga terlihat dengan aksi bela diri di media sosial, bahwa kekhawatiran bangkitnya Komunis sebuah ilusi, karena kata mereka di Rusia, di China Komunis sudah "mati". Tapi lihat kaus bergambar palu-arit bahkan terpampang di sebuah medsos dipakai seorang lelaki muda yang sedang jalan-jalan di mall bersama anak dan istrinya. Entah lelaki muda itu benar-benar memahami ideologi Komunis atau sekadar ikut-ikutan euphoria bebas merdeka berekspresi.

Para simpatisan PKI mungkin merasa "menang"  ketika Presiden Jokowi memerintahkan Menko Polhukam mengklarifikasi kuburan masal korban kekerasan militer pasca G30S/PKI.  Tentu saja timbul juga pikirannya, kapan korban kekejaman PKI sekitar 1965 akan diperiksa juga kuburannya, mumpung masih banyak saksi hidup.

Untungnya ketegasan negara yang diwakili Pemerintahan Presiden  Jokowi, akhirnya terlihat juga, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memerintahkan tangkap orang yang memakai atribut PKI. "Kasihan Bapak Presiden, dia lagi ngurus masalah ekonomi, pembangunan, tapi diganggu masalah ini. Artinya, menghambat pembangunan, kita sudah lupakan semua yang sudah lalu," tandasnya.

Pernyataan Menteri Pertahanan diamini oleh Panglima Kostrad, Letjen Eddy Rahmayadi, yang menyatakan Komunis tak boleh hidup di Indonesia.

Secara hukum memang Komunis dan PKI tak mendapat tempat lagi di Bumi Indonesia. Simak pernyataan Wakil Ketua MPR, Mahyudin pada Agustus 2015:

"MPR RI menyayangkan pemunculan simbol-simbol dan gambar tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) di beberapa daerah di Indonesia. Wakil Ketua MPR RI, Mahyudin mengatakan, selama TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 belum dicabut, PKI masih menjadi organisasi terlarang di Indonesia".

Setelah reformasi 1998 rasanya diskriminasi terhadap anak keturunan anggota PKI sudah tidak ada lagi. Mereka sudah bebas bekerja dalam bidang apapun. Tak ada lagi syarat " bebas G30S/PKI " ketika melamar pekerjaan, tak ada lagi screening "bebas lingkungan". Rekonsiliasi dan saling memaafkan sebenarnya sudah terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun