Sebuah postingan beredar luas di WA, berjudul 'Indonesia yang sesungguhnya', dengan menulis nama-nama atlet Indonesia peraih medali emas di Asian Games 2018. Disebutkan suku bangsa dan agama si atlet dan ditutup dengan pertanyaan retorika, "Apakah mereka bertanding demi agama? TIDAKKK. Â Demi Indonesia".
Si penulis kalau tak salah info adalah politisi, mantan Menteri sebelum zaman reformasi, Â maksud baiknya bisa ditafsirkan saat ini bangsa kita terpecah belah karena agama dan suku bangsa. Apa iya ya?
Sejak 2014 kelihatannya masyarakat terbelah pro Capres A vs Capres B. Berlanjut di Jakarta tahun 2016 ketika masyarakat yang sama dengan skala lebih kecil kembali terbelah dua ketika memilih Cagub X atau Cagub Y. Ada yang melabeli terbelah duanya masyarakat sebagai akibat politik identitas melanda satu pihak. Faktanya tak benar juga jika politik identitas hanya dituduhkan pada satu pihak, kenyataannya pihak yang satu lagi jika mau jujur sama saja  memanfaatkan unsur primordial juga saat memilih jagoannya.
Jika saat memilih pemimpin politik kedua pihak, diakui atau tidak, menggunakan politik identitas dan primordialisme, maka pada saat-saat tertentu dua pihak yang saat ini berseberangan akan bersatu juga demi Indonesia. Misalnya pada Asian Games 2018 di Jakarta, masyarakat bersatu suara mendukung atlet Indonesia.
Bila ditarik ke masa 70an tahun lalu, ketika berhadapan dengan Belanda, dengan NICA saat kemerdekaan RI baru seumur jagung, ternyata sebagian besar rakyat bersatu melawan Belanda. Demikian pula pada peristiwa 10 November 1945 rakyat bersatu menghadapi musuh yang bersenjata jauh lebih lengkap. Musuh bersama mempersatukan bangsa. Memang ada juga sih sebagian kecil yang pro Belanda.
Di bidang olahraga jika kita tarik ke masa lalu, naluri bersatu ketika menghadapi 'musuh atau kepentingan' bersama tercermin juga pada zaman Tan Yu Hok, Ferry Sonnevile, Eddy Yusuf  (Badminton, Thomas Cup 1958), Kiat Sek, Ramang (Sepakbola 1950an), Hendrick Brocks, Aming Priyatna, Wahyu Wahdini (Balap Sepeda Asian Games 1962), Lita Liem, Lanny Kaligis, Atet Wiyono, Go Sun Ho alias Gondowijoyo (Tenis Asian Games awal 1970an), Rudy Hartono, Lim Swie King, Iie Sumirat (Badminton 1970an). Indonesia memang begitu, olahraga alhamdulillah mempersatukan bangsa.
Tapi saya pribadi tak setuju dengan pengamatan politisi mantan Menteri zaman pak Harto itu, yang menurut pendapat saya terlalu berlebihan ketika ia membandingkan "demi agama" atau "demi Indonesia". Tak perlu membandingkan demi agama atau demi negara. Bisa jadi demi dua-duanya, faktanya atlet ketika menang ia bersyukur sesuai keyakinan agamanya, lebih jauh lagi baik atlet maupun para supporter terlihat jelas cinta Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H