Waktu kelas 1 SR yang tahun 1962 atau 1963 berubah jadi SD, di kota-kota dan kabupaten di Jawa Barat yang berbahasa Sunda, murid kelas 1 dan kelas 2 belajar dengan bahasa pengantar bahasa Sunda.
Baru setelah kelas 3 belajar dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Tentu murid-murid yang kebanyakan penutur asli bahasa Sunda diperkenalkan dengan huruf e, é dan eu.
Bagi penutur asli bahasa Sunda, umumnya tak sulit membedakan lambang dan bunyi ketiga huruf tersebut dalam percakapan sehari-hari.
Sebaliknya bagi pendatang yang mencoba belajar bahasa Sunda, mengucapkan e, é dan eu bukan perkara mudah, sering saling tertukar dan mengucapkannyapun umumnya terdengar janggal dan lucu bagi kuping penutur asli.
Penggunaan huruf e
Misalnya dalam kata 'awewe' (artinya perempuan), 'sare' (tidur), 'ember' (ember), 'eleh' (kalah). Huruf e diucapkan seperti ketika mengucapkan 'sewa', 'enak' dalam bahasa Indonesia.
Baik penutur asli Sunda maupun penutur non asli umumnya tidak kesulitan mengucapkan kata Sunda yang mengandung huruf e.
Penggunaan huruf é
Lambang huruf é termasuk khas bahasa Sunda. Misalnya diterapkan dalam kata 'péngki' (wadah untuk mengeduk sampah), 'éma' (ibu), 'wéngi' (malam), 'lémpéng' (lurus), 'résép' (suka, senang), 'sédéng' (sedang, ukuran M).
Huruf é dalam kata - kata tersebut diucapkan seperti ketika kita mengucapkan 'pergi', 'senang' atau 'kembali'.
Lidah Batak asli sering kesulitan melafalkan é, sering malah diucapkan e. Akibatnya bisa mengubah arti, misalnya kata 'sédéng' (sedang) diucapkan 'sedeng' (tidak waras).