Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Huruf e, é dan eu dalam Bahasa Sunda

22 September 2016   23:46 Diperbarui: 26 Agustus 2020   20:57 14833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tatang Heryana (66) tengah memainkan wayang cepot di galerinya di Kampung Wayang Urban, Kota Bandung. (KOMPAS.com/RENI SUSANTI)

Waktu kelas 1 SR yang tahun 1962 atau 1963 berubah jadi SD, di kota-kota dan kabupaten di Jawa Barat yang berbahasa Sunda, murid kelas 1 dan kelas 2 belajar dengan bahasa pengantar bahasa Sunda.

Baru setelah kelas 3 belajar dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Tentu murid-murid yang kebanyakan penutur asli bahasa Sunda diperkenalkan dengan huruf e, é dan eu.

Bagi penutur asli bahasa Sunda, umumnya tak sulit membedakan lambang dan bunyi ketiga huruf tersebut dalam percakapan sehari-hari.

Sebaliknya bagi pendatang yang mencoba belajar bahasa Sunda, mengucapkan e, é dan eu bukan perkara mudah, sering saling tertukar dan mengucapkannyapun umumnya terdengar janggal dan lucu bagi kuping penutur asli.

Penggunaan huruf e

Misalnya dalam kata 'awewe' (artinya perempuan), 'sare' (tidur), 'ember' (ember), 'eleh' (kalah). Huruf e diucapkan seperti ketika mengucapkan 'sewa', 'enak' dalam bahasa Indonesia.

Baik penutur asli Sunda maupun penutur non asli umumnya tidak kesulitan mengucapkan kata Sunda yang mengandung huruf e.

Penggunaan huruf é

Lambang huruf é termasuk khas bahasa Sunda. Misalnya diterapkan dalam kata 'péngki' (wadah untuk mengeduk sampah), 'éma' (ibu), 'wéngi' (malam), 'lémpéng' (lurus), 'résép' (suka, senang), 'sédéng' (sedang, ukuran M).

Huruf é dalam kata - kata tersebut diucapkan seperti ketika kita mengucapkan 'pergi', 'senang' atau 'kembali'.

Lidah Batak asli sering kesulitan melafalkan é, sering malah diucapkan e. Akibatnya bisa mengubah arti, misalnya kata 'sédéng' (sedang) diucapkan 'sedeng' (tidak waras).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun