Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kehalalan BPJS: "Beunang Laukna Herang Caina"

1 Agustus 2015   13:26 Diperbarui: 12 Agustus 2015   06:10 1602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Presentasi dokter Ikhsan BPJS"][/caption]

"Beunang laukna, herang caina" (Peribahasa Sunda). Terjemahan bebasnya, ikannya tertangkap airnya tetap jernih, dapat diartikan mencapai tujuan dengan cara bijak tanpa mengeruhkan suasana.

Seandainya Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan dulu fatwanya kepada Pemerintah dan DPR atau setidaknya mengajak BPJS Kesehatan dan DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) berdiskusi di belakang tabir, memberitahu bahwa aktivitas BPJS Kesehatan menurut pendapat MUI belum sesuai dengan syariah. Bisa dibahas dengan BPJS Kesehatan dan DJSN bahkan dengan Pemerintah dan DPR apakah dilakukan revisi terhadap UU dan Peraturan terkait penyelenggaraan BPJS Kesehatan agar sesuai syariah, atau membentuk BPJS Kesehatan Syariah.

He he he panen sindiran dan kritik MUI kali ini. Kenapa sampai terjadi? Apakah ketika MUI berdasarkan kajian fiqihnya menemukan BPJS belum sesuai syariah Islam langsung mengumumkan ke publik melalui pers, atau mencolek dulu Pemerintah dan DPR dan BPJS Kesehatan dulu untuk memberitahu hasil kajiannya? Dari sinilah diduga asal mula informasi yang simpang siur, akibat komunikasi publik yang kurang bijak dari MUI. Berita yang sifatnya sensitif sekali diberitakan media arus utama akan ditangkap pembacanya yang rata-rata juga netizen, diberi komentar dan tafsir, akhirnya mana berita yang benar dan mana yang kurang tepat membingungkan masyarakat.

Selasa 28 Juli 2015, Okezone.com memuat berita berjudul "BPJS Haram, Pemerintah Harus Ikuti Fatwa MUI". Media online ternama seperti Tempo.co pun masih menulis berita BPJS haram pada 30 Juli 2015 "BPJS Haram, Fadli Zon: Itu Berlebihan". Tak ayal lagi bak gelundungan bola salju, komentar terkait BPJS haram meluncur makin ramai, kritik sampai cacian ditujukan kepada MUI bertebaran di dunia maya. Ada kritik yang menyarankan 'urusi deh dana haji yang benar sesuai syariah Islam, dananya besar tuh'. Ada sindiran 'MUI tukang stempel label halal' ada pertanyaan analogi 'Dokter spesialis haram?', mungkin dikaitkan dengan pendidikan spesialis seorang dokter umum dibiayai dana LPDP yang berasal dari bunga bank. Ada lagi yang mempertanyakan 'Kalau BPJS haram, naik kapal terbang haram juga?, karena pesawat terbang dibeli dengan sistem leasing.  lieur lah, emosi tinggi.

Dua hari setelah ramai diberitakan menurut MUI BPJS haram, muncul berita pelurusan di beberapa media utama, misalnya :

  • Detik.com memberitakan 'Ijtima Ulama MUI: BPJS Bukan Haram, Tapi Tidak Sesuai Syariah'.  Anggota Dewan Syariah Nasional MUI, Prof Jaih Mubarok hari Kamis 30 Juli 2015 menjelaskan "Bukan fatwa haram, teksnya bukan haram. Ini ijtima komisi fatwa MUI keputusannya bukan BPJS haram, tapi BPJS yang sekarang berjalan tidak sesuai syariah". 
  • Kompas.com 30 Juli 2015 menulis berita "BPJS: Tak Ada Kata-kata 'Haram' Dalam Fatwa MUI". Dokter M. Ikhsan Kepala Grup Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga BPJS menjelaskan kepada Kompas.com "Kami lihat tidak ada kata-kata haram. Tidak ada kata-kata yang menyatakan BPJS haram". MUI hanya memberikan dua rekomendasi kepada BPJS. Pertama, agar pemerintah menerapkan standar minimum atau taraf hidup layak kesehatan bagi publik. Kedua, agar aturan, sistem dan format BPJS kesehatan dapat sesuai prinsip syariah.

Pada acara Kompasiana Nangkring bersama BPJS Kesehatan di Gedung Kompas Pal merah Barat, Jakarta Barat, 30 Juli 2015 pukul 15.15 - 17.15 sekali lagi Dokter M Ikhsan meluruskan bahwa MUI tidak menyatakan haram, tetapi menyampaikan dua usulan, dengan kalimat agak berbeda dengan kalimat yang dimuat Kompas.com :

  • Minta ditetapkan standar untuk jaminan kesehatan nasional yang layak
  • Minta Pemerintah mengatur agar dibentuk BPJS Syariah.

Dokter Ikhsan pada presentasinya di Kompasiana menjelaskan, DJSN sudah menyurati MUI, DJSN dan BPJS Kesehatan akan beraudiensi dengan MUI membahas usulan MUI.

Seandainya MUI sejak awal lebih berhati-hati menyampaikan fatwanya, menghubungi pihak Pemerintah (dan DPR) dulu atau mencolek penyelenggara BPJS Kesehatan (dan DJSN), membahas bersama tanpa gembar gembor, mungkin tak akan ada polemik seru yang mengandung banyak debat kusir sampai caci maki, suatu hal biasa di alam demokrasi saat ini, namun lebih elok bila dihindari karena hal sensitif terkait fatwa MUI bila diserang terbuka oleh masyarakat -termasuk yang berpaham sekuler dan bukan Muslim- sedikit banyak akan meretakkan bangsa Indonesia. Beunang laukna, herang caina, itu lebih baik.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun