Pada zaman Pemerintahan pak Harto, pemilihan kepala desa -terutama di pulau Jawa- dilakukan secara langsung, bebas dan rahasia. Tata cara Pilkades zaman itu, pernah saya alami sekitar tahun 1985 di Kabupaten Bogor, tak beda jauh dengan Pilkada zaman sekarang, termasuk unsur-unsur kecurangan seperti pemberian 'uang kadeudeuh' sekedarnya yang dilakukan oleh sebagian calon kepala desa.
Pada saat Pilkades zaman itu, mungkin juga masih berlaku di beberapa tempat sampai saat ini, bilamana pada sebuah Pilkades hanya ada satu calon, pemilihan tetap berjalan, calon kepala desa ditandingkan melawan "kotak kosong". Pemilih dipersilakan memilih kotak yang berlambang calon tunggal kades atau memilih kotak kosong. Tak jarang calon tunggal kepala desa dikalahkan "kotak kosong", jika rakyat desa setempat tak menyukainya.
Sekarang sedang hangat berita calon bupati/walikota di beberapa tempat minim peminat, misalnya di Surabaya dan Banyuwangi calonnya baru satu pasangan. Kenapa sepi peminat, bukankah biasanya para politisi berlomba-lomba mendaftar menjadi calon bupati atau calon walikota atau calon gubernur?Â
Beberapa hal mungkin menjadi penyebab minimnya peminat di beberapa wilayah, misalnya ada calon super kuat di wilayah tersebut seperti Walikota Surabaya dan Bupati Banyuwangi petahana, menyebabkan pihak lawan enggan maju bertarung, peluangnya menang kecil sekali, buang-buang duit saja he he he. Â Bisa juga calon sebenarnya lebih dari satu namun kebanyakan terganjal peraturan jika masih duduk di DPR harus mundur dari keanggotaan DPR, padahal justru para anggota DPRlah yang potensil menjadi calon kepala daerah, dari sudut kemampuan berpolitik maupun dari sudut kemampuan keuangan. Sayang musim telah berganti calon-calon yang masih menjabat di DPR (atau juga di posisi eksekutif, kecuali calon petahana), harus mundur dulu dari jabatannya. Ya berat juga kalau mundur dulu, mungkin khawatir berakibat seperti pepatah mengharapkan Punai di udara, burung Pipit di tangan dilepaskan, gambling, bisa-bisa kagak dapat dua-duanya.
Jalan lain tampilkan calon lain yang kurang kuat, ramai disebut calon boneka yang pasti kalah, untuk memenuhi persyaratan calon lebih dari satu, sayang cara ini kurang etis. Bahkan calon tunggalpun tidak kurang berbahayanya, bisa-bisa ada kasak kusuk di lapangan, agar tak ada calon lain yang mendaftar selain si calon tunggal.
Jadi jika hanya ada satu calon Pilkada tetap jalan dengan menandingkan calon tunggal vs ""kotak kosong? Ya itu salah satu jalan. Rasanya tak adil jika calon seperti Walikota Surabaya petahana dan Bupati Banyuwangi petahana gagal menjadi kepala daerah periode kedua karena terganjal peraturan tak boleh ada calon tunggal. Â Logikanya jika ditandingkan melawan "kotak kosong" dan rakyat tak menghendaki si calon tunggal, Pilkada akan dimenangkan oleh "kotak kosong". Jika terjadi demikian apa boleh buat Pilkada ditunda dua tahun lagi dan Pemerintah Pusat menetapkan Pjs Bupati atau Pjs Walikota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H