Makam pahlawan nasional Imam Bonjol (Kompas/TIA)
Dari Bonjol ke Minahasa
Bonjol sebuah kota kecamatan yang terkenal di seluruh Indonesia terletak di Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Kota yang dilalui garis Khatulistiwa ini bukan hanya dikenal karena dilintasi garis lintang nol derajat, namun karena namanya melekat pada nama pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol.
Barangkali tak pernah Muhammad Shahab muda berpikir apalagi berencana menghabiskan hari tua dan wafat nun jauh di negeri orang. Muhammad Shahab yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol adalah guru agama Islam dan tokoh ulama berpengaruh pada zamannya, yang berniat menerapkan syariat Islam sepenuhnya di Kerajaan Pagaruyung ketika itu atau Sumatera Barat dan Tapanuli Selatan pada umumnya saat ini. Semula pertentangan yang terjadi adalah antara para ulama yang ingin menerapkan syariat Islam namun ditentang oleh para tokoh adat dan tokoh kerajaan yang walaupun sudah menganut Islam namun masih melakukan hal-hal yang pada dasarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti sabung ayam, minum minuman keras, berjudi, penerapan hukum waris berdasarkan hukum adat yang tak sesuai ajaran Islam.
Pertentangan antara ulama versus umaro ini berkembang menjadi pertentangan fisik berlangsung panjang antara 1815 -1838, dimulai dengan penyerangan benteng Kerajaan Pagaruyung oleh pasukan para ulama yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh. Tokoh adat dan kerajaan karena terdesak akhirnya minta bantuan Belanda untuk memerangi para ulama yang dipimpin Tuanku Nan Renceh dan sepeninggal beliau pada 1832 dipimpin Tuanku Imam Bonjol, nama gelar Muhammad Shahab sebagai tokoh ulama di Bonjol. Berkat bantuan Belanda kaum ulama berbalik dapat ditekan secara militer, namun tokoh adat dan kerajaanpun menyadari campur tangan Belanda dalam urusan dalam negeri mereka tidak menguntungkan secara geo politik, tak ada makan siang gratis barangkali begitu padanan peribahasa yang tepat untuk jasa Belanda membantu menyerang kekuatan Tuanku Imam Bonjol dan kelompoknya.
Akhirnya mulai 1833 ulama dan umaro yang berselisih sampai angkat senjata itu bersatu dan sekarang kedua kelompok bersama-sama memerangi Belanda, kesadaran yang terlambat karena Belanda terlanjur mengerahkan ribuan prajuritnya yang terdiri dari sedikit bule dan lebih banyak legiun asingnya -yang berkulit hitam/Afrika dan sawomatang/pribumi Nusantara-, untuk mengalahkan ulama di Bonjol dan menguasai Kerajaan Pagaruyung.
Seperti kita baca pada buku sejarah Tuanku Imam Bonjol ditangkap Oktober 1837 dengan cara tidak ksatria, ditangkap ketika hadir dalam perundingan dengan Belanda di Palupuh, lalu dibuang ke Cianjur Jawa Barat, lalu ke Ambon dan akhirnya dibuang ke Minahasa sampai akhir hayatnya pada 6 November 1864. Pahlawan nasional yang ulama ini wafat pada usia sekitar 90 tahun, bila menilik tahun kelahirannya 1774 di Tanjung Bungo/Bonjol, Sumatera Barat seperti tertulis pada batu nisan makamnya.
Hidup dalam pengasingan sebagai orang buangan -zaman sekarang mungkin disebut tahanan politik-, tanpa keluarga atau tak menikah lagi di tempat pembuangannya dan hanya ditemani pengawal setia bernama Apolos yang menikah secara Islam dengan gadis setempat bernama Mince Parengkuan.
[caption caption="Makam Imam Bonjol"]
Walaupun watak orang Minangkabau adalah perantau dan sekarang tak sulit menemukan rumah makan Padang di Manado, ketika Tuanku Imam Bonjol dibuang ke sebuah desa yang saat itu barangkali di tengah hutan, jarak yang jauh sekali dari Sulawesi Utara ke Sumatera Barat merupakan sebuah hal yang hampir mustahil bagi Tuanku Imam Bonjol melarikan diri pulang ke kampung halamannya, hambatan transportasi yang tak semudah zaman sekarang merupakan perkara besar.
Tuanku Imam Bonjol mengisi waktu dengan mendalami agama Islam, dapat diduga dari sisa-sisa peninggalan seperti "batu sajadah" di lokasi makam Tuanku Imam Bonjol di Lotah, sekarang termasuk Kabupaten Minahasa. Pada batu nisan tertulis nama PETO SYARIF Ibnu PANDITO BAYANUDDIN Gelar TUANKU IMAM BONJOL, PAHLAWAN NASIONAL.