Tak terasa Minggu 28 Juni 2015 harian Kompas telah berusia 50 tahun, usia cukup panjang untuK sebuah surat kabar atau sebuah perusahaan bisnis nasional. Perjalanan 50 tahun Kompas saya simak melalui Kompas TV sejak kemarin sampai pagi ini, seperti diceritakan oleh pak Jakob Oetama dan beberapa wartawan senior seperti Wartawan foto Arbain Rambe dan seorang wartawan senior yang memberitakan Pak Harto akan lengser pada Mei 1998.
Berita Kompas bahwa pak Harto akan lengser tersebut ternyata sebuah "kecelakaan", walaupun akhirnya menjadi kenyataan, pasalnya sang wartawan yang menyertai kunjungan pak Harto ke Mesir pada 1998 tersebut sedang dalam keadaan mengantuk ketika mendengarkan pidato atau konferensi pers tanpa teks, ucapan pak Harto ditafsirkan pak Wartawan bahwa pak Harto akan lengser, walaupun akhirnya menjadi kenyataan, tapi sempat membuat pak Wartawan Kompas tersiksa batinnya karena "ketakutan". Maklum saat itu kebebasan pers belum sebebas sekarang, salah-salah membuat berita bisa ditangkap Kopkamtib, yang Panglimanya Laksamana Sudomo.
Saya mulai rutin membaca Kompas sejak sekitar 1972/1973, sebelumnya koran favorit saya adalah harian Merdeka, yang halaman olahraganya saya nantikan setiap hari, apalagi bila ada turnamen sepakbola Merdeka Games (Kuala Lumpur), King's Cup (Bangkok) atau Jakarta Anniversaty Football Tournament (Jakarta). Waktu itu saya belum terlalu sering baca Kompas, mungkin mulai serius baca Kompas ketika kelas 3 SMA, saya terpesona dengan iklan penerimaan mahasiswa baru IPB angkatan 1974, kalimat yang disusun -mungkin oleh Prof Andi Hakim Nasution- begitu gamblang memperlihatkan departemen-departemen ada ada di IPB. Sayapun berkhayal seandainya saya jadi pemulia padi, menemukan varitas-varitas padi unggul atau food technologist atau forester. Akhirnya saya melayangkan lamaran ke PPMB IPB sekitar Agustus-November 1973, diantar ramai-ramai oleh belasan teman-teman sekelas, kami menuju Kantor Pos Bogor, yang letaknya hanya sekitar 100-an meter dari gedung SMA kami. Walaupun ramai-ramai mengantar saya ke Kantor Pos, sebenarnya yang melamar jadi mahasiswa IPB cuma saya sendiri, yang lain -sekalipun ada juga yang menyusul saya- saat itu belum menentukan pilihan atau mungkin punya pilihan kuliah di Bandung atau Jakarta.
Ternyata iklan Kompas banyak manfaatnya bagi remaja seperti saya saat itu. Ketika lulus kuliah pada usia 23 tahun, saya memilih menjadi PNS dan sempat bekerja selama 22 bulan, sempat mendapat NIP pula. Â Sayangnya iklan di Kompas tentang penerimaan Management Trainee di sebuah lembaga manajemen terkenal di Jakarta, menggoda saya untuk mencoba pindah kerja dan kebetulan lulus seleksi untuk belajar selama 10 bulan - Jan-Okt 1980 - dengan bea siswa. Ketika sedang belajar manajemen itulah saya membaca berita wafatnya PK Ojong, Pemimpin Umum harian Kompas. Kejadian ini termasuk berkesan karena salah seorang lulusan Management Trainee satu angkatan di atas saya cerita, beberapa bulan sebelum pak PK Ojong wafat teman saya menemui beliau untuk mengajukan pengunduran diri sebagai karyawan.
Tahun 1981 kembali iklan Kompas mengajak saya bergabung sebentar dengan sebuah perusahaan konsultan, tugasnya menjadi pendamping konsultan asing di Sulawesi selama tiga bulan. Â Pada waktu bersamaan saya juga melamar pekerjaan di sebuah BUMN Keuangan, yang saya peroleh infonya dari iklan harian Kompas, kesempatan kerja inipun dapat saya ambil setelah pulang dari Sulawesi.
Memang akhirnya ketika pindah kerja lagi ke sebuah grup perusahaan besar, saya tidak melalui iklan Kompas lagi, melainkan diperkenalkan teman saya dengan seorang direksi di anak perusahaan grup perusahaan, langsung ketemu muka wawancara beberapa kali dengan tiga atau empat direksi dan manajer, akhirnya saya bergabung di perusahaan tersebut sampai usia pensiun.
Walaupun hampir 30 tahun bertahan di perusahaan terakhir, bukannya tak ada godaan dari (iklan) Kompas yang saat itu harian Kompas sudah menjadi bacaan wajib tiap pagi. Beberapa kali saya melamar iklan pekerjaan yang dimuat Kompas, sayangnya atau untungnya selalu tidak berjodoh, mulai soal lokasi kerja sampai besarnya gaji he he he ....
Sampai saat ini saya suka sekali membaca iklan Kompas, terutama terbitan hari Sabtu, saya baca iklan lowongan pekerjaan dengan cermat, tentu bukan untuk melamar kerja lagi, sudah jauh ketuaan, tapi dari iklan Kompas saya jadi paham lulusan sekolah bidang apa yang banyak dicari pencari kerja, universitas atau institut mana yang lebih disukai perusahaan pencari kerja dan info lainnya. Semua ini menjadi masukan untuk anak-anak saya saat mereka memilih program studi di perguruan tinggi.
Tak salah jika (iklan) Kompas ternyata telah menyertai lebih dari separuh hidup saya. Sebagian tinggal kenangan sih, tapi membaca masih tetap dilakukan supaya tetap mendapat info mutakhir, berita politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan tentu lebih menarik dibanding iklan lowongan pekerjaan ketika usia saya mulai menginjak usia 40-an. Malahan sekarang sebulan belasan kali menulis di Kompasiana, media warga "anaknya" KOMPAS. Selamat ulang tahun ke 50 Kompas. 50 tahun bukan waktu pendek untuk ukuran manusia sekarang, walaupun sangat pendek dibanding ukuran umur akhirat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H