Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buka Kedai Makan Bulan Puasa, Kuncinya Tepo Sliro!

13 Juni 2015   12:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:04 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedai makanan atau warung makan akan diusulkan tutup siang hari pada bulan Puasa? Majelis Ulama Indonesia berwacana demikian, sedangkan Menteri Agama melalui kicauan twitternya mengatakan "Hormatilah orang yang tak berpuasa", tapi itu plintiran netizen kata pak Menteri, lalu diralat menjadi "Warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa". Bahkan Wakil Presidenpun ikut nimbrung "Bulan Puasa kan tidak semua puasa, yang non Muslim kan tidak puasa. Non Muslim kan butuh makan juga. Musafir juga menurut hukum Islam boleh tidak puasa. Kalau tidak ada rumah makan bagaimana makannya, kan kasihan".

Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya, lain masa pemerintahan lain pula kebijakannya. Pemerintah DKI Jakarta melalui Wakil Gubernurnya menyatakan tak akan melarang warung makan buka pada siang hari bulan Puasa. Sedangkan di Aceh mestinya kebijakannya mungkin berbeda, apalagi sekarang syariat Islam resmi diterapkan di Aceh. Pada Agustus 1978 saja ketika syariat Islam belum diterapkan resmi, saya menyaksikan razia warung makan yang buka pada pagi hari di Banda Aceh. Namun ternyata di sebuah hotel acara sarapan pagi bagi yang tak berpuasa jalan terus, mungkin karena tamu hotel tersebut merasa seorang musafir.

Mengapa harus jadi polemik sih soal buka tutup warung makan di bulan Puasa? Pernyataan pejabat negara yang normatif bisa saja ditafsirkan lain, bikin kalimat memang harus ekstra hati-hati, informsi dengan cepat menyebar dan ditelan masyarakat, salah sedikit bisa jadi boomerang bagi yang bikin pernyataan. Soal hormat menghormati, harga menghargai ibadah umat beragama lain, sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia bahkan sejak zaman Belanda dan sebelumnya lagi. Di wilayah yang penduduk Muslimnya mayoritas atau sangat mayoritas, sudah pada tempatnya warung makan tidak buka sepanjang siang hari, sayangnya zaman sekarang konsumen warung makan pada bulan Puasa bukan hanya non Muslim tapi malah banyak Muslim yang sengaja tak berpuasa. Di wilayah yang penduduknya mayoritas non Muslim barangkali tak perlu dipersoalkan benar apakah warung makan mau buka atau tidak sejak pagi sampai sore.

Sebuah contoh bagus adalah suasana pada hari Nyepi di Bali, yang karena provinsi tersebut mayoritas penduduknya beragama Hindu, sejak sekian tahun lalu bahkan warga atau pengunjung yang non Hindupun mengikuti aturan dan larangan yang tabu dilakukan pada waktu Nyepi. Misalnya lampu listrik padam selama 24 jam, tak ada keramaian, lalu lintas di jalan rayapun stop sama sekali, tak ada keramaian pesta pada hari Nyepi. Tentu saja ada kekecualian, misalnya untuk rumah sakit, umat Islam yang mau jalan ke masjid tetap diperbolehkan.

Kunci toleransi beragama bagi masyarakat Indonesia sebenarnya sudah diterapkan oleh orang tua - orang tua kita sejak dulu yaitu tepo sliro. Pada waktu bulan Puasa, tahun 1960-an di kota Bogor saya saksikan warung makan buka rata-rata siang hari atau menjelang sore, jikapun buka maka warung akan ditutup tirai rapat-rapat supaya tak terlihat kegiatan makan minum di dalam warung atau restoran. Di kota Meulaboh pada tahun 1980 saya saksikan juga suasana mirip kota Bogor tahun 1960an, malahan di Meulaboh tak ada warung makan yang buka pagi hari, penjual makanan mulai ramai sekitar pukul 4 sore, setelah waktu Asar.

Tepo sliro, bila diterapkan umat yang tak berpuasa dan pedagang makanan matang -sekalipun ia Muslim- tak akan menimbulkan polemik yang tampaknya sudah menjadi hobby baru bangsa Indonesia. Bayangkan bila umat non Hindu di Bali tak mau bertepo-sliro pada hari Nyepi, terang-terangan menyalakan lampu rumah, menyalakan saluran televisi, jalan-jalan mengendarai mobil di jalan raya kota Denpasar, tentu akan bikin keributan yang tak perlu.

Saya juga tak menyarankan Menteri Agama dan Wakil Presiden membuat cuitan atau pernyataan pada hari Nyepi di Bali "Lampu listrik tak perlu dipadamkan, bandara Ngurah Rai tak perlu ditutup, restoran dan warung Tegal boleh buka, kan tidak semua penduduk Bali melakukan ritual Nyepi". He he he .... jangan bikin pernyatan seperti ini ya bapak-bapak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun