Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sisi Lain CT Si Anak Singkong

3 Oktober 2012   04:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:20 1779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_216730" align="alignleft" width="300" caption="Chairul Tanjung"][/caption] Penasaran dengan tulisan Kompasianer Andika dan Olive  Bendon yang menulis opini atas biografi Chairul Tanjung (CT), pengusaha berdarah Mandailing-Sunda, yang umurnya masih termasuk muda, saya kemarin membeli buku biografi tersebut di Gramedia Depok. Seperti orang tuna netra meraba badan seekor gajah, mungkin apa yang saya tulis merupakan kesan saya atas gajah yang menurut saya binatang berkaki besar berhidung panjang.  Saya melihat dari sisi yang belum tentu sama dengan orang lain yang membaca buku  CT Si Anak Singkong.  CT pendiri Para Group dan tahun lalu diubahnya nama group usahanya menjadi CT Corpora atau CT Corp. Sekolah di Sekolah Unggul Menarik memang kisah perjalanan hidup Chairul Tanjung, sejak kanak-kanak usia SD sampai jadi pengusaha besar dan sukses.  Tak salah bila Boy M. Bakhtiar, dosen CT di FKG UI, menjulukinya anak ajaib.  Kisah Keluarga Abdul Gaffar Tanjung yang Mandailing dan Isterinya Halimah yang orang Sukabumi beserta anak-anaknya yang tinggal lama di Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat cukup mencengangkan saya. Bayangkan hidup di kampung kumuh, rumah tanpa kamar mandi dan WC sendiri, tetapi anak-anaknya termasuk CT, sekolah di sekolah termasuk baik dan bermutu, SD dan SMP Van Lith, SMA Negeri I Budi Utomo yang pada zamannya dikenal sekolah anak-anak orang besar sampai menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UI.  FKG UI walaupun tahun 1980an awal disebut CT bukan strata tertinggi di lingkungan UI dibanding Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi dan Fakultas Teknik, tetaplah FKG fakultas yang harus direbut tempatnya dengan perjuangan dan keberuntungan. Sekitar 90% isi buku sudah saya baca, saya terkesan dengan tekad ayah CT,  pak Abdul Gaffar menyekolahkan anaknya di tempat-tempat yang baik dengan keyakinan pendidikan sangat penting masa depan anak-anaknya.  Paling tidak dengan ekonomi yang tak berlebihan seperti diceritakan CT, pak Abdul Gaffar Tanjung menyekolahkan anak tertua di Fakultas Kedokteran UI dan anak kedua di FKG UI, tak diceritakan dimana adik-adik CT sekolah, apakah masuk UI juga atau sekolah di universitas lain. Irisan Kejadian di Tempat Yang Sama Kesan lain lebih bersifat pribadi, walaupun saya tak kenal sama sekali dengan CT, ternyata ada bagian hidupnya yang beririsan secara tak langsung, persahabatannya dengan dosen muda Boy M. Bakhtiar, kedekatannya dengan mesin fotokopi (Xerox),  sekolah di PPM (School of Management) yang juga tempat saya belajar selama 10 bulan tahun 1980 dan hubungannya dengan Profesor dokter Suyudi. CT waktu mahasiswa mengaku bersahabat dekat dengan dosen FKG  drg. Boy M. Bakhtiar, yang sekarang telah professor.  Mobil Kijang pak Boy muda dipinjamkan kepada CT untuk membantu usaha bisnis fotokopinya.  Pak BM Bakhtiar sampai tahun 2000 bertetangga dengan saya, tinggal di jalan yang sama, satu RT.   CT tahun 1987 pernah menjemput pak Boy Bakhtiar di rumahnya saat pak Boy tertular hepatitis B saat berpraktek sebagai dokter gigi.  Sebagai bekas tetangga saya baru tahu pak dosen pernah tertular hepatitis B. Bisnis pertama CT adalah fotokopi, ia membentuk Brigade X, X1, X2.  Ternyata brigade tersebut bukan brigade ketentaraan, yang dimaksud  X adalah Xerox, mesin fotokopi ternama yang di Asia Pasifik dipasarkan dengan merk Fuji Xerox.   Mudah-mudahan saja CT muda menggunakan Xerox 'asli' dari distributor resmi satu-satunya di Indonesia.   Bila CT akrab dengan mesin X, saya juga lama akrab dengan mesin X, saya puluhan tahun mengelola persediaan sparepart dan consumable mesin X demi menjaga kepuasan pengguna mesin.  Lebihnya barangkali saya pernah melihat proses penyelesaian produksi mesin tersebut diuji di laboratorium pabrik sebelum dipasarkan ke seluruh Asia Pasifik.   Fotokopi berperan besar dalam hidup saya membesarkan anak-anak titipan Allah swt. PPM adalah tempat kursus manajemen ternama di Jakarta dan Indonesia.  Sebelum sekolah Magister Manajemen menjamur seperti sekarang, PPM telah menyelenggarakan sekolah pascasarjana selama dua tahun sejak 1967.  Karena biayanya mahal dan susah mencari sponsor program sempat terhenti, tahun 1977 format pendidikan diubah menjadi hanya 10 bulan dan mahasiswa belajar atas sponsor perusahaan dan mendapat uang saku sangat memadai.  Belakangan sempat disebut program MBA dan akhirnya format disesuaikan dengan standar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi program Magister Manajemen.  Disinilah rupanya Chairul Tanjung sebagai pengusaha praktek  belajar manajemen bisnis lebih saintifik. Waktu tsunami Aceh CT beserta keluarga dan perusahaannya memberi sumbangan luar biasa dan bermanfaat bagi Aceh, baik bekerjasama dengan PMI maupun dilakukannya sendiri.  Pada saat yang hampir bersamaan  saya seperti banyak orang Indonesia lainnya, juga menemui Profesor Suyudi -saat itu Wakil Ketua PMI- untuk menyampaikan sumbangan dari perusahaan dan teman-teman yang mencari nafkah melalui Xerox. Empat irisan kejadian  kehidupan yang saya ketahui dari halaman-halaman awal buku,  mendorong  saya membaca buku ini sampai hampir habis, mesti ada manfaat yang dapat dipetik untuk generasi penerus saya. Pergaulan Luas dan Pendidikan Sebagai Modal Usaha Tak banyak orang dengan kondisi ekonomi seperti CT yang tampil percaya diri dengan kekurangannya, ia menjadi Ketua Angkatan FKG 1981, aktif di sekolah sejak SD, SMP, SMA, tampaknya tak ada rasa minder dan tak mau memperlihatkan kekurangannya di hadapan orang lain.  Tak diceritakan apakah CT pernah mendapat bea siswa yang saat itu banyak tersedia di UI, bila mau salah satu bea siswa mestinya dapat ia peroleh dengan alasan kondisi ekonomi orangtua atau sebagai aktivis FKG yang mungkin nilai kuliahnya termasuk baik. Saya penasaran soal bea siswa yang dulu pernah membantu kuliah saya, apakah CT gengsi minta bea siswa?.  Dalam bukunya CT menceritakan betapa ia yang masih usia SMP menanti pulang ayahnya sampai dinihari demi membayar kewajiban zakat fitrah dan ia menolak diberi zakat fitrah oleh tetangganya.  Anak sekecil itu sudah merasa zakat sebuah kewajiban dan harga dirinya tinggi, bisa jadi juga tinggi hati yang positif, dia merasa lega membayar lunas zakat fitrah keluarganya pada dinihari menjelang Subuh. Kemampuan bergaul CT yang tampaknya mudah masuk lingkungan manapun, lingkungan anak-anak orang kaya, lingkungan orang-orang yang lebih tua, seperti mudahnya ia menjalin persahabatan dengan dosen-dosennya, sampai ia dikenal Dekan FKG, Rektor UI  dan ia mampu memanfaatkan jaringan kenalan untuk melaksanakan bisnis dan kerja sosialnya tanpa kesan KKN berkonotasi negatif. Luwesnya bergaul inilah menurut saya yang menjadi pendukung kesuksesan bisnis CT dan suksesnya dia berteman dengan pelbagai kalangan, bahkan isteri CT sendiri menurut pengakuannya berasal dari warga Jakarta kelas atas, mertua CT seorang dokter Angkatan Laut. Pentingnya Pendidikan Pendidikan dokter gigi yang ditempuhnya di UI sekilas tak banyak kaitannya dengan kesuksesan bisnis CT.  Tapi saya yakin jalan hidup CT mungkin tak sesukses sekarang bila dia tak masuk FKG UI.   Bisnis diasah sambil sekolah dokter gigi.  Jejaring sosial dirintis sambil sekolah dokter gigi.  Tentu saja intelektual CT juga diperoleh di UI.  Pendidikan tetap penting sekalipun ada yang berpendapat buat apa sekolah tinggi tinggi kalau tanpa ijazah sarjanapun bisa menjadi pedagang sukses. Sebuah buku yang tak terlalu berlebihan memuji diri, pantas dibaca oleh anak-anak muda untuk mencontoh sisi positif perjuangan anak singkong yang benar-benar anak singkong, tinggal bertahun-tahun di pemukiman kumuh, di sebuah rumah tanpa kamar mandi dan WC sendiri.   Apakah biografi CT ada tujuan politisnya?  Entahlah sejauh ini kelihatannya ia masih belum dekat dengan partai politik, sekalipun disamping sebagai pengusaha,  ia juga menjadi Ketua Komisi Ekonomi Nasional, yang mestinya cukup dekat dengan Presiden SBY.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun