Pidato Capres Prabowo dan Capres Jokowi ramai dinilai, dievaluasi orang. Banyak yang menilai Prabowo lebih cakap berpidato dibanding Jokowi, ada juga yang menilai dari dua kali pertemuan di panggung KPU dan Bidakara, seorang Kompasianer memberi skor 2 - 0 untuk keunggulan Jokowi. Effendi Ghazali, dosen FISIP UI, menilai skor 3 -1 untuk Prabowo, sekalipun ia mengimbuhi pernyataannya ia jujur menilai dan siap di-bully pendukung Jokowi.
Beberapa artikel dan komentar di Kompasiana banyak yang memandang bahwa pidato dan debat antar capres itu tak ada gunanya, yang dicari bukan presiden yang pandai berpidato dan pandai berdebat, tapi yang bisa bekerja dan sudah terbukti mampu bekerja. Yang berpendapat demikian mudah diduga pendukung berat capres yang mana.
Cakap Berkomunikasi Tak Perlu?
Saya akan menuliskan pengalaman, bukan menulis teori komunikasi untuk membahas polemik yang ramai memperbincangkan pandai pidato dan debat tidak perlu!
Zaman tahun 1970an dan mestinya sampai sekarang, untuk memilih pemimpin mahasiswa seperti Ketua Dewan Mahasiswa atau Ketua Senat Mahasiswa selalu melalui tahapan kampanye dan debat, serupa tapi tak sama dengan acara pemilihan Presiden RI tahun 2014. Esensi debat dan pidato menurut pendapat saya bukan untuk melihat orang pandai berbual, tapi melihat seberapa jauh ia mampu mengkomunikasikan pendapatnya kepada orang lain. Bagaimana mungkin orang akan tahu isi kepala seseorang bila ia bungkam seribu bahasa atau pelit berbicara atau bicaranya tidak sistematis?
Mungkin diantara Kompasianer angkatan tua ada yang mengenal Prof Dr Ir Andi Hakim Nasution, almarhum dulu lama mengajar di IPB Bogor, antara lain ia pernah mengajar mata kuliah Kalkulus untuk mahasiswa tingkat satu. Pak Andi -demikian mahasiswa umumnya menyapa beliau- bukan orang yang pandai berbicara -katakanlah lancar berbicara seperti Adian Napitupulu yang baru-baru ini namanya ngetop-. Ia dikenal irit berbicara, namun bila sudah mempresentasikan sesuatu yang ia kuasai, pak Andi akan berbicara lancar, sistematis, walaupun menurut saya gaya komunikasinya garing, tak ada selingan humor. Apakah ia mampu berdebat? Jangan ditanya kemampuan beliau berdebat tentang sesuatu yang diketahuinya dengan baik, namun bila salah, ia mau juga menerima koreksi dari mahasiswanya di kelas. Orang yang pendiam ini ternyata mampu menjadi Rektor IPB dua kali masa jabatan (1978-1986), tentu saja bukan tanpa perjuangan atau hanya diam seribu bahasa, jika diperlukan orang pendiam ini ternyata mampu berkomunikasi dengan baik, sekalipun kalah menarik dibanding calon Rektor lainnya saat itu atau jauh dari menarik dibanding gaya orasi Bung Karno.
Sebuah contoh di lingkungan yang lebih sempit, di sebuah perusahaan swasta yang lumayan besar di Jakarta. Saya punya teman yang pendiam, memulai karirnya sebagai seorang salesman mesin duplikasi dokumen. Banyak orang heran dengan prestasinya sering jadi top salesman, padahal kalau melakukan presentasipun gayanya garing, namun sangat sistematis dan mudah ditangkap oleh hadirin. Setelah sampai ke level manajerial, ia tetap pendiam, mirip gong yang tidak berbunyi kalau tidak dipukul. Namun jangan tanya bila sedang mempresentasikan rencana kerja dan hasil kerja, ia mampu melakukannya dengan sistematis dan mampu melayani debat dari hadirin yang merupakan orang selevel dan atasannya. Seiring dengan perjalanan waktu orang pendiam inipun sukses mencapai jenjang Presiden Direktur.
Dari dua contoh kejadian yang saya alami dan saya amati dalam waktu lama tersebut di atas, saya berpendapat seseorang yang tak banyak cakap bukan berarti ia tak pandai berpresentasi atau berpidato. Seorang yang tak banyak cakap mungkin sulit terlibat dalam debat omong kosong, namun bila debat menyangkut hal yang dikuasainya, maka ia akan mampu berdebat dengan sangat baik. Sebaliknya seseorang yang pandai berpidato dan pandai berdebat jangan buru-buru dituduh cuma pandai omong doang.
Prof Andi Hakim Nasution dan Presiden Direktur yang saya ceritakan di atas, bukan orang cakap berpidato, namun ia cakap berkomunikasi sesuai dengan keperluan. Memang ada juga barangkali orang pandai tapi sama sekali tak mampu menyampaikan buah pikirannya kepada orang lain dan orang seperti ini menurut pendapat saya tidak pantas untuk menjadi pemimpin, mungkin menjadi peneliti saja, karena menjadi dosenpun harus mampu berkomunikasi dengan baik dengan mahasiswanya supaya ilmunya tidak hilang percuma.
Bila ada yang berpendapat debat dan pidato tak perlu bagi capres, saya berpendapat sebaliknya, karena seorang Capres berpidato dan berdebat tentang program kerja yang mestinya ia sangat kuasai. Biarkan para Capres berdebat, kita simak apa pendapat mereka, bilapun kita terpaksa harus menilai, alangkah baiknya bila kita jujur dalam menilai tanpa melihat siapa orangnya.
Soal tanggal 9 Juli 2014 mau memilih siapa, ya terserah anda, bila berpendapat debat dan pidato bukan ukuran, buang saja kriteria itu dari pikiran anda, pilihlah capres yang tak pandai pidato dan tak pandai berdebat. Sebaliknya bila berpendapat mampu berkomunikasi merupakan salah satu syarat untuk menjadi Presiden, tentu anda akan memilih yang satu lagi.