Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partai Demokrat Penyeimbang, Kritisi Kebijakan Kurikulum 'Revolusi Mental'

27 Agustus 2014   02:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:27 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai Demokrat tidak menjadi oposisi maupun berkoalisi dengan  Pemerintahan Jokowi-JK yang baru diputuskan MK memenangkan pilpres 2014, tetapi akan menjadi penyeimbang, demikian dikatakan Ketua Harian Partai Demokrat, Syarif Hasan. Republika Online edisi 26 Agustus 2014 menguraikan beberapa pendapat petinggi Partai Demokrat:


  • Penyeimbang,  Demokrat penyeimbang kebijakan, menyikapi kebijakan yang akan dikeluarkan Jokowi-JK.
  • Mendukung dan membantu pemerintahan Jokowi
  • Mendukung proses transisi dimanfaatkan Jokowi untuk beradaptasi menjalankan pemerintah ke depan.
  • Partai Demokrat tidak akan mengulang sejarah pemerintah 2004 hingga 2014. Di mana partai yang tidak bergabung dengan pemerintah SBY menjadi oposisi. Yang selalu menentang apapun kebijakan pemerintah SBY.
  • Yang lalu itu oposisi sangat keras. Apapun yang dilakukan pemerintah selalu tidak baik, selalu buruk.


Penyeimbang akan lebih positif terdengar dibanding oposisi, yang sebenarnya juga tidak dikenal resmi dalam sistem pemerintahan Presidensial.

Ada dua contoh sikap yang harus dilakukan Partai Demokrat sebagai penyeimbang Pemerintah, pertama soal kenaikan harga BBM, kedua penerapan revolusi mental dalam kurikulum pendidikan formal.

Dalam soal kenaikan harga BBM yang kemungkinan besar dilakukan Pemerintahan JKW-JK pada awal masa pemerintahannya, Partai Demokrat dan juga Koalisi Merah Putih harus mendukung kebijakan ini. Jangan sampai terjadi seperti para politisi partai-partai oposisi antara lain PDIP dan Hanura yang pada Maret 2012 begitu vokal menentang rencana kenaikan harga BBM, namun akhir-akhir ini malah minta Pemerintahan SBY menaikkan harga BBM sebelum Presiden Jokowi dilantik.  Sikap yang tidak jujur dalam menilai situasi perekonomian.

Dalam kampanyenya Jokowi lantang menyuarakan jargon 'revolusi mental'. Secara garis besar mengubah perilaku atau mental korup pejabat menjadi tidak korup tentu sangat patut didukung. Namun penerapannya dalam bidang pendidikan SD, SLP dan SLA patut dicermati apakah sesuai dengan Pancasila, apakah ada faham terlarang yang diperkenalkan, apakah akan mendangkalkan pendidikan agama di sekolah?

Masih belum jelas benar bagaimana penjabaran komposisi kurikulum berbasis revolusi mental itu. Yang saya ketahui hanya komposisi atau perbandingan persentase antara pendidikan etika dan budi pekerti dengan pelajaran lainnya:


  • Pada tingkat Sekolah Dasar 80% pelajaran etika dan budi pekerti + 20% pelajaran lain, termasuk baca, tulis, hitung? Bahasa Inggris mungkin dihapus, IPA dan IPS mungkin disederhanakan? Bagaimana dengan pelajaran agama -misalnya Islam- apakah dihapus atau dijadikan bagian dari pelajaran etika dan budi pekerti? Menurut pendapat saya tidak sepenuhnya tepat bila pelajaran agama menjadi bagian dari etika dan budi pekerti.
  • Pada tingkat SLTP 60% pelajaran etika dan 40% pelajaran lain. Belum jelas benar apa saja nanti yang diajarkan untuk murid-murid SMP bila pelajaran umum hanya 40% dari mata ajaran.
  • Pada tingkat SLTA 20% pelajaran etika dan budi pekerti dan 80% pelajaran lainnya. Belum jelas juga apakah masih akan ada jurusan IPA/IPS atau tak ada penjurusan? Tentu kurikulum SMA dengan sekolah kejuruan juga harus beda. Pelajaran ketrampilan dan bersifat praktek harus mendominasi kurikulum sekolah kejuruan.


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) termasuk para anggota DPR dari Partai Demokrat khususnya dan Koalisi Merah Putih -bila masih solid- harus kritis dan mempunyai visi jauh ke depan menanggapi kurikulum berbasis revolusi mental ini. Tentu kita tak mau generasi sekian tahun mendatang terlalu dangkal pengetahuannya, memahami agama makin dangkal, cukup baik dan buruk saja, anak-anak kurang diajar mendalami agamanya di sekolah, karena hanya menekankan masalah etika dan budi pekerti saja. Mungkin semua yang ditulis disini mengandung kecurigaan karena tidak tahu persis hendak dibuat seperti apa kurikulum sekolah berbasis revolusi mental itu?

Tugas partai-partai di luar pemerintahanlah untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, termasuk mengusulkan kurikulum revolusi mental yang persentase perbandingannya tidak terlalu ekstrim atau bila perlu menolak kebijakan pemerintah yang diperkirakan tidak baik untuk masa depan generasi muda Indonesia.  Sesuai janji sebagai penyeimbang bila ada kebijakan pemerintah yang bagus ya didukung, bukan membabibuta semua yang berasal dari pemerintah dianggap jelek, tapi yang tidak baik bagi masyarakat ditolak saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun