Pada suatu hari tahun 2007Â saya mendampingi manajemen perusahaan menghadiri upacara peresmian penanaman pohon lindung di sebuah tempat di Kupang sebagai bentuk CSR perusahaan. Acara resmi ini dihadiri para pejabat Pemerintah Provinsi NTT dan Kota Kupang, termasuk Kepala Dinas Kehutanan NTT. Layaknya sebuah acara resmi kerjasama antara Pemerintah Daerah dan pihak swasta, tentu ada pidato sambutan dari masing-masing pihak, dalam hal ini kata sambutan disampaikan oleh Wakil Gubernur dan direksi perusahaan. Acara ditutup dengan doa ungkapan memohon selamat kepada Tuhan YME, dipimpin oleh salah seorang karyawan Pemda NTT secara agama Katolik atau Protestan, saya kurang memahaminya secara persis. Pemimpin doa juga mempersilakan hadirin yang beragama bukan Nasrani berdoa sesuai agamanya masing-masing.
Belum dua minggu saya menghadiri perayaan hari ulang tahun sebuah perusahaan di Yogyakarta. Perusahaan ini berkantor-pusat di Jakarta, namun puncak perayaan hari ulangtahunnya dengan beberapa alasan dilakukan di Yogyakarta. Perusahaan yang saya duga pemegang sahamnya dan karyawannya terdiri dari lebih dari satu penganut agama ternyata pada saat melakukan doa dilakukan secara Islam, dipimpin oleh salah seorang karyawan perusuhaan tersebut. Seperti di tempat lain sebelum memimpin doa secara Islam, pemimpin doa mempersilakan penganut agama bukan Islam berdoa sesuai dengan agamanya.
Menurut pendapat saya, doa bersama yang saya alami di Jakarta dan Yogyakarta menunjukkan toleransi beragama sudah cukup baik, sejalan dengan aktivitas keagamaan murid-murid sekolah menengah sebelum kelas dimulai dan menjelang pulang sekolah. Demikian pula tata cara berdoa di lingkungan Pemda NTT yang pernah saya alami menunjukkan toleransi beragama.
Soal agama seringkali menjadi hal sensitif, maka saran saya bila hal ini sudah berjalan baik ya biarkan saja, tak harus memaksakan pendapat yang mungkin pak Menteri anggap lebih benar, tetapi belum tentu disetujui banyak pihak karena berbeda pemahaman.  Bila di Bali doa bersama dipimpin seseorang secara Hindu, di Kupang doa bersama dipimpin secara Nasrani dan di Bogor doa bersama dipimpin seseorang secara Islam, artinya menghargai mayoritas juga tidak perlu dipersoalkan, selama hak-hak penganut agama minoritas diberikan.
Jadi praktik keagamaan menurut agama mayoritas seperti apa yang kurang sreg di hati pak Menteri? Menteri Anies Baswedan harus berterungterang dan menjelaskan kepada masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H