Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Seandainya Bu Rini Presdir PT Kementerian BUMN

20 Desember 2014   06:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:54 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bu Rini berwacana ingin menjual gedung Kementerian BUMN  di Jalan Medan Merdeka Selatan no 13, yang bertetangga dengan Balaikota Jakarta dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.  Karena ia berpangkat Menteri BUMN maka banyak kritik dan komentar kritikus dan nyinyiris -istilah seorang kompasianer-, sampai komentar dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan pimpinan DPR RI.

Menurut Wakil Presiden RI, mungkin itu baru wacana, karena menjual asset negara itu harus disetujui oleh Presiden RI dan untuk asset semahal sebuah gedung Kementerian BUMN perlu persetujuan DPR. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyarankan agar Presiden  mencoret anggaran pembangunan gedung Pemerintah (di Jakarta) yang dibiayai APBN, berikan gedung Kementerian BUMN sebagai penggantinya.

Bagaimana komentar kritikus yang profesional seperti Muhammad Khodari, ia menghimbau bu Menteri jangan berwacana menjual gedung Kementerian BUMN, berbahaya katanya.  Bahayanya nanti merembet menjual asset negara lain he he he. Kalau komen para nyinyiris silakan dicari di Kompasiana, barangkali Kompasianer seperti saya juga dimasukkan dalam kategori nyinyiris ha ha ha .

Logika bu Menteri sebetulnya ada benarnya juga, karyawan Kementeriannya cuma 250 orang, punya gedung 25 lantai, tentu berat diongkos.  Hanya logika yang benar ini menimbulkan pertanyaan, apa tak ada jalan lain mengatasi biaya perawatan yang tinggi selain melego gedung? Bukankah sebagian lantai gedung  bisa disewakan ke BUMN, lembaga Pemerintah atau lembaga Negara yang lain, seperti KPK ternyata masih  menggunakan dua lantai di gedung yang megah itu.

Apalagi bu Menteri BUMN menambah wacananya, setelah menjual gedung, Kementerian BUMN cukup menyewa kantor saja. Lho jadi aneh, ibarat orang kebanyakan ingin punya rumah, ia malah ingin mengontrak saja. Sekalipun ada teori keuangan mahal mana membeli dibanding menyewa, untuk sebuah Kementerian Negara Republik Indonesia suatu hal yang janggal bila harus mengontrak bangunan untuk kantor. Sebuah gedung Kementerian bukan hanya harus efisien biaya perawatannya, tapi ada hal lain yang harus diperhitungkan, yaitu kepantasan sebagai pembina ratusan BUMN kok tak punya rumah? Pelit amat!

Saya teringat seorang kawan pada tahun 1990an akhir, ia berlatar belakang administrasi keuangan, dipromosikan menjadi Kepala Cabang yang bertanggungjawab atas penjualan dengan target tertentu di cabangnya. Feeling kawan yang satu ini sebagai orang keuangan kuat melekat, sehingga pikirannya tidak fokus mencapai target penjualan, masih juga tertarik memikirkan pengiritan biaya operasional yang sebenarnya lebih pantas dipikirkan Kepala Administrasi bawahannya.

Seandainya bu Rini pangkatnya Presiden Direktur PT Kementerian BUMN, mungkin bukan hanya berwacana, gagasannya menjual gedung kantor bisa dijadikan rencana bahkan aksi, setelah ia sebagai Presiden Direktur meyakinkan Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (Luar Biasa), bahwa menurut analisis PUNYA vs SEWA, ternyata menyewa gedung lebih menguntungkan daripada mempunyai gedung.

Sayang Kementerian BUMN sekalipun pekerjaannya membina perusahaan-perusahaan negara, kementeriannya sendiri tetaplah bukan badan usaha. Bu Rini jangan-jangan masih terpengaruh dengan pekerjaannya belasan tahun lalu sebagai Presiden Direktur Astra Internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun