Mohon tunggu...
Hendi H
Hendi H Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Prodi Informatika Universitas Pembangunan Jaya

Saya Hendi H, dan saya senang banget bisa jadi bagian dari perjalanan belajar kalian. Saya punya ketertarikan besar di bidang programming, cybersecurity, dan AI—yang artinya kita bakal banyak ngobrol soal bagaimana bikin aplikasi keren, menjaga keamanan data, dan bahkan menciptakan teknologi yang bisa 'berpikir' sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

UKT Tinggi: Menelisik Alternatif untuk Meringankan Beban Mahasiswa

16 September 2024   23:03 Diperbarui: 16 September 2024   23:25 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika membicarakan UKT (Uang Kuliah Tunggal), ada rasa cemas yang sering kali muncul di benak mahasiswa dan orang tua. Sebagai sebuah kewajiban, UKT menjadi bagian dari perjalanan pendidikan di perguruan tinggi, namun tak jarang justru menjadi beban yang berat. Mahalnya UKT sering kali menimbulkan polemik, dan tentu muncul pertanyaan besar di sini: apa solusinya?

Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang solusi, menarik jika kita memahami bagaimana sistem UKT ini bekerja. UKT, yang seharusnya berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga, masih kerap terasa tidak adil bagi sebagian kalangan. Sistem ini dirancang untuk meringankan biaya kuliah bagi yang kurang mampu, namun dalam praktiknya, seringkali ada celah yang membuat mahasiswa dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah merasa terbebani. Mungkin ada alasan yang tidak begitu terlihat, seperti inflasi atau kebijakan kampus yang tak terlalu dijelaskan secara rinci.

Lalu, bagaimana kita bisa meringankan beban ini? Ada beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan. Pertama, beasiswa. Beasiswa selalu menjadi solusi populer. Akan tetapi, perolehan beasiswa kerap kali menjadi tantangan tersendiri. Proses seleksi yang ketat dan syarat yang beragam membuat tidak semua mahasiswa bisa mengaksesnya dengan mudah. Selain itu, jumlah beasiswa yang tersedia seringkali terbatas dibandingkan dengan jumlah mahasiswa yang membutuhkan. Sehingga, solusi ini meskipun menjanjikan, belum tentu efektif untuk semua orang.

Pilihan lain yang bisa diambil adalah program keringanan UKT atau penjadwalan pembayaran. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah mulai menerapkan kebijakan ini, di mana mahasiswa bisa mengajukan permohonan untuk pembayaran cicilan. Ini jelas membantu mahasiswa yang mungkin tidak bisa langsung membayar penuh di awal semester. Tetapi, apakah cukup hanya dengan program cicilan? Terkadang, cicilan tersebut hanya menggeser beban ke waktu yang berbeda, tanpa benar-benar meringankan total biaya.

Penting juga untuk melihat potensi dari kerja paruh waktu bagi mahasiswa. Di luar negeri, bekerja sambil kuliah adalah hal yang lumrah. Di Indonesia, meskipun trennya sudah mulai meningkat, sistem ini belum sepenuhnya terintegrasi dengan kehidupan kampus. Beberapa kampus mungkin menawarkan program magang, namun skema kerja paruh waktu yang sistematis di dalam kampus masih jarang ditemukan. Kerja paruh waktu tentu bisa membantu mahasiswa membiayai kuliah mereka, namun sekali lagi, waktu kuliah yang terbagi antara bekerja dan belajar bisa menjadi dilema tersendiri.

Selain solusi finansial langsung, ada pendekatan lain yang mungkin tidak langsung terkait dengan uang, namun bisa meringankan beban mahasiswa, yakni dengan memanfaatkan teknologi pendidikan yang berkembang pesat. Misalnya, kuliah daring yang lebih fleksibel dan bisa mengurangi kebutuhan akan fasilitas fisik. Namun, ide ini pun punya keterbatasan, terutama dalam hal kualitas interaksi dan pengalaman belajar yang berbeda dibandingkan pertemuan tatap muka.

Terakhir, dialog terbuka antara mahasiswa, dosen, dan pihak kampus sangat diperlukan. Karena, tidak semua solusi selalu berasal dari kebijakan formal. Diskusi yang sehat bisa membuka pintu-pintu solusi baru, bahkan mungkin yang belum terpikirkan sebelumnya. Dengan begitu, bisa muncul kesepakatan bersama yang lebih menguntungkan banyak pihak, atau setidaknya bisa memberikan keringanan secara bertahap.

Kesimpulannya, mahalnya UKT memang menjadi persoalan yang kompleks, tapi bukan berarti tak ada jalan keluar. Ada beberapa solusi yang bisa diambil, mulai dari beasiswa, program cicilan, kerja paruh waktu, hingga inovasi dalam penggunaan teknologi pendidikan. Namun, yang paling penting adalah kesadaran bahwa setiap solusi mungkin hanya bekerja sebagian, dan keberhasilan nyata baru bisa tercapai jika ada sinergi antara berbagai elemen yang terlibat. Jadi, daripada terus meratapi mahalnya biaya kuliah, mengapa tidak mencoba mengeksplorasi setiap peluang dan solusi yang ada? Terlepas dari semua masalah yang ada, pendidikan tetap menjadi investasi masa depan yang layak diperjuangkan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun