Perempuan. Jika berbicara tentang perempuan, maka banyak kontroversi yang akan muncul. Entah mengapa laki-laki dan perempuan harus dibedakan oleh perlakuan manusia. Padahal, perbedaan yang ada hanyalah pada tampilan fisik. Lebih daripada itu, perempuan seharusnya sama dengan laki-laki. Entah itu dalam pekerjaan, pergaulan, dan penerimaan di masyarakat.
Fakta yang ada dalam masyarakat kita adalah budaya patriarki. Seolah-olah dunia laki-laki berbeda dengan perempuan. Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kekuatan otot dan memimpin, bukanlah pekerjaan perempuan. Mereka tak sanggup melakukan hal itu. Perempuan lemah. Sehingga ketika perempuan melakukan pekerjaan ini, dianggap tidak pantas dan tidak layak.
Beberapa waktu lalu, dalam beberapa media, salah satunya okezone.com dan metrotvnews.com, kita dikejutkan oleh salah satu beritanya tentang MUI Riau yang mengeluarkan fatwa haram pada walikota perempuan. Dikutip dari okezone.com, salah satu anggota MUI menjelaskan, "Perempuan haram mencalonkan diri apabila masih ada laki-laki yang bisa memimpin di suatu negeri". Katanya, hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Walaupun memang belum disetujui oleh MUI pusat, tapi kita harus prihatin dan menanggapi hal ini secara kritis.
Ketika agama menciptakan hukum yang mengharamkan wanita menjadi pemimpin, mengapa Tuhan harus menciptakan wanita? Kenapa tidak menciptakan laki-laki saja? Selain itu, apa perempuan harus menunggu sampai tidak ada lagi laki-laki di dunia untuk menjadi pemimpin? Tidak ada alasan yang jelas mengapa sampai ada fatwa tersebut. Apa yang tidak dimiliki perempuan namun dimiliki laki-laki sehingga laki-laki boleh dan perempuan tidak? Tidak ada yang bisa menjelaskan. Seharusnya kita belajar dari negara-negara luar yang meletakkan posisi laki-laki dan perempuan sama dalam hal pekerjaan. Bahkan di Inggris, pemerintahannya dikepalai oleh perempuan, Ratu Elisabeth.
Entah sejak kapan perempuan mendapat posisi kedua dibandingkan laki-laki dalam hal kepemimpinan. Sadar atau tidak, institusi pendidikan mungkin juga ikut serta dalam penanaman pola pikir seperti ini. Ketika duduk di bangku SD, dalam setiap buku pelajaran, kita akan menemukan kalimat : "Ayah pergi ke kantor, Ibu masak di dapur". Bahwa yang pergi ke kantor, mencari nafkah, dan memimpin keluarga adalah seorang laki-laki. Sedangkan perempuan, yaitu Ibu pekerjaannya di dapur dan mengurusi keluarga. Sebagai anak kecil yang belum memiliki banyak pengertian, kita akan dengan mudah menerimanya dan terbawa sampai dewasa.
Jika kita masuk ke pasar Bringharjo Yogyakarta, maka kita akan menemukan fakta menarik sekaligus membantah stereotype banyak orang. Disana terdapat banyak buruh gendong yang membantu pembeli di pasar tersebut. Mereka 'menjual' punggungnya untuk mengangkut barang belanjaan pembeli yang mau menggunakan jasa mereka. Ada ratusan buruh gendong di sana dan kebanyakan adalah perempuan. Bahkan, sebenarnya mereka sudah tidak muda lagi. Umurnya rata-rata di atas 30 tahun.
Salah satu buruh gendong, Rus (40) mengaku sudah mengambil profesi ini sejak 10 tahun yang lalu. Ia berasal dari Wates, Kulon Progo. Tiap hari ia harus ke Yogya jam 5 pagi dan baru kembali ke rumah pukul 4 sore. Suaminya bekerja 'serabutan', jika ada yang membutuhkan bantuan, maka suaminya akan mengerjakannya. Untuk bekerja sebagai buruh gendong ini, ia diupah secara sukarela oleh orang yang menggunakan jasanya. Ada yang memberi 2000 sampai 4000 rupiah sekali angkut. Walaupun pekerjaannya cukup berat dan upahnya kecil, ia mengaku senang melakukannya. "Ya mau gimana lagi? Cari kerjaan kan sulit. Saya juga ini jadi buruh gendong yang ajak si mbok,'' ujar Ibu dari satu anak ini.
Sama halnya dengan Jemim (70). Ia bahkan mengaku bahwa pasar ini adalah rumahnya. Ia sangat senang bekerja sebagai buruh gendong. Keriput di wajahnya tidak mensurutkan semangatnya mengangkut barang yang tidak ringan. Wanita ini bisa mengangkut hingga 50 kg. Ia sudah 20 tahun bekerja di sini. Sebelum meninggal dunia 4 tahun lalu, suaminya bekerja sebagai tukang bersih-bersih di Keraton. Walaupun upah yang didapat sedikit, ia tetap bersyukur. "Yah, cukuplah buat beli beras,'' katanya dengan wajah riang penuh senyuman.
Kenyataan ini membantah semua stereotype yang mengatakan bahwa perempuan lemah dan tidak sanggup melakukan pekerjaan yang membutuhkan kekuatan otot. Pekerjaan tidak diciptakan berdasarkan jenis kelamin. Koki dan desainer bukanlah pekerjaan perempuan saja. Banyak laki-laki yang juga berprofesi seperti itu. Seharusnya pemimpin dan buruh juga bukan hanya pekerjaan laki-laki saja. Perempuan juga mampu mengerjakannya. Jika memiliki kapasitas dan kompetensi dalam bidang itu, kenapa tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H