Tulisan ini dibuat sebagai hasil pengamatan pribadi saya sebagai praktisi hukum atas perkara-perkara perceraian yang pernah ditangani dan fenomena perceraian yang begitu luar biasa. Bahkan pada beberapa daerah tertentu termasuk Jakarta, pada periode 2013-2014 jumlah perkara perdata perceraian mengalahkan jumlah perkara perdata umum seperti wan prestasi dan perbuatan melawan hukum.
Dari fenomena booming perceraian tersebut makanya tidak heran kadang di jalan-jalan besar bahkan jalan kampung pun ada tertempel pamflet atau bahkan poster kecil yang bertuliskan penawaran jasa “Pengacara Perceraian” hubungi nomor telepon tertentu. Bahkan saya sendiri pernah melihat di stasiun kereta api di Cakung Jakarta Timur tertempel jelas mengenai jasa pengurusan perceraian.
Atas fenomena booming perceraian tersebut kemudian penulis ingat-ingat atas perkara-perkara perceraian yang pernah ditangani dan perkara-perkara yang sedang dan akan dimajukan ke pengadilan. Apa sebenarnya penyebab perceraian ???
Jika kita menjawab pertanyaan tersebut baik secara teori hukum (yang sudah dibukukan dalam Undang-undang) maupun atas pengalaman empirik pembaca maka akan didapat berbagai macam jawaban penyebab perceraian, mulai dari “perbedaan prinsip” sampai terjadinya KDRT (kekerasan dalam rumah tangga).
Namun saya menemukan salah satu hal menarik penyebab perceraian yang sebenarnya adalah pangkal atau biangnya perceraian yaitu “KESERASIAN SEMU” antara suami dan istri sebagai pasangan hidup.
Keserasian mempunyai kata dasar “serasi”, berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat,pada halaman 1283 menjelaskan :
Serasi artinya cocok, sesuai, kena benar, selaras, sepadan, harmonis,
Dari beberapa interview saya dengan beberapa (saat itu) calon klien yang akan mengajukan perceraian terhadap pasangannya, penulis menyelipkan pertanyaan :
“Kapan anda pertama kali bertemu dengan dia dan kapan anda mulai jatuh cinta dengannya ? ”
Tentunya saya mendapatkan berbagai macam jawaban dari yang biasa sampai yang ter-unik. Yang terunik adalah suatu pasangan bertemu dan jatuh cinta kemudian menikah “hanya” karena bersin.
Menurut saya, ketertarikan pria kepada wanita atau sebaliknya dimulai dari aksi kimiawi atau hormonal yang dikeluarkan seseorang yang akan direspon oleh orang lain (lawan jenis) dengan reaksi kimiawi atau hormonal juga.
Aksi dan reaksi kimiawi/hormonal yang penulis maksud di sini adalah ketika tubuh kita menghasilkan Adrenalin, maka kita menghasilkan daya tarik dan hasrat seksual bagi orang-orang kita.
Berdasakan Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat pada halaman 11 menjelaskan : Adrenalin adalah 1. Hormon yang dihasilkan dari ekstrak kelenjar suprarenal atau kelenjar adrenal, epinefrina ; 2. Hormon yang diperoleh dari kelenjar adrenal hewan atau hormon yang dibuat secara sintesis, digunakan dalam bentuk suntikan untuk menaikkan tekanan darah dan denyut jantung.
Berdasarkan Wikipedia Kamus Bahasa Indonesia :
Adrenalin (bahasa Inggris: adrenaline, epinephrine) adalah sebuah hormon yang memicu reaksi terhadap tekanan dan kecepatan gerak tubuh.
Tidak hanya gerak, hormon ini juga memicu reaksi terhadap efek lingkungan seperti suara derau tinggi atau cahaya yang terang. Reaksi yang kita sering rasakan adalah frekuensi detak jantung meningkat, keringat dingin dan keterkejutan. Reaksi ini dalam batas tertentu menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan, mungkin juga menjadi sebuah hobi hingga disebut adrenaline junkie.
Manusia mengahsilkan adrenalin pada saat kondisi emosi si manusia memuncak misalkan pada saat gembira memenangkan perlombaan, tertawa lepas karena ada hal lucu didepannya, takut pada saat menonton film horor dan terangsang saat melihat lawan jenis berpakaian “seksi”.
Setiap kali kondisi emosi kita memuncak maka gairah tersebut akan disebarkan kepada siapapun orang disekitar kita. Akibatnya terjadi transfer kondisi dimana gairah yang kita rasakan akan diterjemahkan menjadi hasrat dan gairah seksual oleh orang disekitar kita.
Pada saat terjadinya aksi dan reaksi kimiawi tersebut terjadi maka terdapat kondisi emosi yang sama, sehingga secara sosial kondisi tersebut diterjemahkan sebagai “SERASI”.Hal-hal yang terjadi saat itu adalah segala hal seolah-olah menjadi cocok dan sepadan. Maka kemudian Bung Iwan Fals pun kalau tidak salah pernah membuat lagu yang syairnya : “ . . saat jatuh cinta, tai kucingpun rasa coklat” atau ada lagu berjudul “Cinta Satu Malam” yang menggambarkan bagaimana dahsyatnya gairah cinta dan ketertarikan pada pandangan pertama.
Itupun yang terjadi pada pasangan-pasangan bercerai yang pernah penulis tangani. Pada saat pertemuan, pasangan-pasangan tersebut biasanya terjadi pada saat salah satu atau keduanya dalam kondisi emosi yang memuncak atau dalam kondisi prima. Contohnya, bertemu saat sama-sama nge-gym (orang yang nge-gym-nya benar akan mengeluarkan hormon gembira), bertemu saat pesta ulang tahun teman (pasti pakaian rapi dan bagus, wangi dan gembira), dijodohkan atau di comblangkan (keduanya deg-deg’an dan perasaan tak menentu, mengeluarkan emosi karena adanya kondisi tidak menentu) dsb.
Pertemuan dalam kondisi-kondisi tersebut tidaklah salah. Toh, ada suatu pameo bahwa “kalau sudah jodoh tidak akan lari kemana . . .”
Saya hanya ingin berbagi pengalaman empirik bahwa dalam memilih pasangan hidup janganlah tertipu pada penampilan, sensasi atau kesan pertama. Atau yang sudah memilih pasangan hidup karena kondisi-kondisi seperti tersebut diatas maka PR selanjutnya adalah mencari kecocokkan yang lain yang bersifat positif.
Hal ini mengingatkan saya pada komentar yang pernah dilontarkan Krisdayanti (KD) pada saat akan menikah dengan Anang Hermansyah : “Jodoh itu ditangan Allah tapi kecocokan itu harus dicari”. Walaupun pada akhirnya kedua sejoli ini akhirnya karam kapal rumahtangganya.
Ketertarikan terhadap lawan jenis lebih banyak ditentukan oleh si Adrenalin daripada gaya rambut spiky, rok mini, jam tangan Rolex atau merk sepatu Adidas yang dikenakan. Walaupun sebenarnya, aksesoris-aksesoris yang menempel di tubuh manusia inilah sebagai figuran dalam menciptakan Adrenalin.
Namun yang perlu diwaspadai adalah seseorang kadang mempunyai ekspektasi yang terlalu tinggi kepada pasangannya dan berharap pasangannya bersikap konsisten terhadap “sensasi pertama”nya tapi yang terjadi kadang sebaliknya. Pasangan tidak dapat konsisten terhadap penampilannya seperti yang disajikan pada “pandangan pertama” dan ditambah adanya akumulasi kekecewaan atas perilaku negatif pasangannya maka terciptalah butir-butir kebencian yang dapat bermuara pada perpisahan.
Perpisahan pasangan mengakhiri perkawinan adalah emergency exit dalam mengatasi permasalahan rumah tangga ketika solusi lain sudah tidak mempan untuk diperjuangkan dan malah perkawinan mendatangkan akibat buruk bagi pasangan suami istri dan/atau anak.
Emergency exit ini dapat digunakan atau tidak digunakan tergantung pilihan yang diambil oleh pasangan perkawinan. Atau malah bahkan sama sekali tidak masuk dalam alternatif pilihan dalam solusi mengatasi permasalahan rumah tangganya.
Diperlukan komitmen dan kesepakatan batin yang kuat antara calon pasangan suami istri sebelum mengarungi bahtera rumah tangga. Misalkan, kesepakatan mengenai siapa orang yang akan ditunjuk sebagai wasit bila suatu saat ada permasalahan rumah tangga yang paling pelik ketika pasangan sudah tidak mampu lagi mencari solusi, supaya tidak menggunakan emergency exit. So, jangan masalah harta bersama saja yang diatur dalam komitmen atau diatur dalam prenuptual agreement.
Jatuh cinta kepada calon pasangan pada kesan, sensasi dan penampilan pertama itu manusiawi. Namun harus dibarengi dengan kehati-hatian oleh calon pasangan yang dijatuhi cinta, apakah sensasi pertama yang begitu menggoda itu benar-benar alami sifat aslinya dan ajeg atau hanya artifisial.
Jadi ketika seorang pria memberikan bunga mawar plastik kepada wanita bukan berarti cintanya palsu . Bukankah bunga plastik lebih awet daripada bunga asli yang cepat mati. Cinta dapat diciptakan oleh sekuntum mawar merah namun cinta tidak bisa hidup hanya dengan sekuntum mawar merah.
Saya semakin percaya mitos Jawa : "Withing tresna jalaran seka kulina", yang artinya cinta tumbuh dimulai karena seringnya bertemu. Saya lebih mengartikan bahwa cinta sejati itu tumbuh karena adanya kondisi yang konsisten antara dua sejoli. Kata "kulina" dapat diartikan konsisten atau keajegan sikap yang tidak dibuat-buat.
Demikian sedikit pengalaman praktis yang dapat penulis bagikan kepada pembaca. Terima kasih.
Penulis,
Sri Hendarianto SP,SH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H