(Tulisan berikut merupakan kumpulan dari status-status Facebook pribadi saya mengenai arti "rahmat" yang sedang saya renungkan.)
Hukum dunia yang transaksional; bekerja-diupah, berusaha-meraih, membuat kita cenderung sulit memahami arti sesungguhnya dari rahmat (kasih karunia).Â
Kadang secara tidak sadar kita memandang rahmat seperti upah atau hadiah dari suatu pencapaian. "Saya harus begini begitu supaya (bisa atau dimudahkan) memperoleh rahmat" - Seolah ada standar tertentu yang perlu kita upayakan capai sehingga kita bisa menerima rahmat itu. Pertanyaannya, jika rahmat itu ilahi, mungkinkah kita mencapai standar ilahi, Sang Mahasuci, sedangkan kita adalah ciptaan yang penuh dosa?Â
Sederhana, jika kita meyakini bahwa kita harus melakukan suatu (atau banyak) usaha untuk mencapai suatu standar demi meraih apa yang kita sebut "rahmat", maka itu bukan rahmat yang sesungguhnya.Â
Kesadaran bahwa kita tidak layak karena dosa dan tidak mampu melakukan apapun demi keselamatan kita dari hukuman kekal, merupakan pintu gerbang rahmat. Di sisi lain, rahmat Ilahi itu sudah lebih dahulu menanti di depan pintu gerbang, yaitu ketika Allah telah menyediakan jalan keselamatan melalui kematian Putra-Nya, Sang Firman yg menjadi manusia, untuk menanggung segala dosa dan hukuman yg kita layak terima kelak.Â
Ketika pintu gerbang terbuka, yaitu ketika kita menyadari keberdosaan kita dan beriman pada jalan keselamatan yg Allah telah sediakan melalui Yesus Kristus, maka rahmat sejati itu akan masuk dan memenuhi hidup kita. "Kita yang selayaknya dihukum dalam kekekalan, dibebaskan-Nya, inilah belas kasihan-Nya. Kita yg tidak layak mendapatkan keselamatan kekal, dianugerahi-Nya, inilah kasih karunia-Nya". Rahmat sejati adalah rajutan belas kasihan dan kasih karunia Allah pada kita orang berdosa yg beriman pada jalan-Nya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H