Mohon tunggu...
Henda Rihma
Henda Rihma Mohon Tunggu... -

Pengajar, Mahasiswi, dan Aktivis dakwah

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mahalnya Sebuah Rasa Aman Oleh: Henda Rihma Nurjannah, A.Ma.Pust

25 April 2015   18:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:41 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika dulu masyarakat Indonesia diresahkan oleh pemberitaan tentang aksi  kawanan geng motor , sekarang ada berita yang cukup menyita perhatian masyarakat banyak, di Indonesia khususnya, yaitu “begal”. Siapa yang tak kenal dengan istilah ini. Istilah lain dari merampok atau merampas harta orang lain secara paksa ini tengah membuat resah setiap orang untuk bepergian atau sekedar keluar dari rumahnya pada malam hari. Ya, malam hari dipilih sebagai waktu yang pas untuk beraksinya para begal. Para pelakunya sendiri, kini tak hanya kaum lelaki saja, tetapi di Jawa Tengah, wanita pemandu karaoke jadi otak pembegalan di Demak (Kompas.com).

Masalah ketidak amanan negeri ini, bukan hanya sekali atau dua kali saja terjadi. Juga tidak hanya soal pembegalan, kasus-kasus kriminal lain yang sering menjadi bahan pemberitaan media di televisi dan media-media lainnya, menunjukan dengan jelas bahwa kriminalitas di negeri ini sudah menjadi rutinitas. Rasa was-was, takut dan khawatir terhadap aksi kejahatan  kerap menghinggapi benak siapa saja yang hendak bepergian meninggalkan rumah.

Rasa aman di negeri ini layak dikatakan mahal harganya, sebab kenyataannya hanya orang-orang yang mampu membayar mahal yang dapat memperoleh rasa aman. Didukung dengan hukuman bagi pelaku kejahatan yang tak setimpal, tidak memberi efek jera kepada pelaku dan efek pencegah bagi yang menyaksikannya.

Wakil presiden Jusuf Kalla menilai ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia sehingga aksi begal pun marak belakangan ini (detik.com). Benarkah ini hanya karena masalah sistem pendidikan saja yang salah? Ternyata fakta yang terjadi di lapangan, para pelaku pembegalan bukan hanya pemuda usia sekolah. Salah satu pelaku pembegalan adalah Hendriansyah di pondok Aren, Tanggerang Selatan, bukan anak sekolahan, ia drop out dari SMP dan sudah 2 tahun menghilang dari keluarganya.

Karena landasan pendidikan di negeri ini berdasar pada sekularisme, memisahkan ruh agama (Islam) dari kehidupan. Maka output yang dihasilkan ialah pelajar-pelajar yamh sekuler. Sehingga menyerahkan penyelesaian pembegalan kepada pendidikan juga kurang tepat.

Perlu solusi yang totalitas dan tuntas untuk menyelesaikan seluruh persoalan di negeri ini, solusi yang hanya bisa diperoleh dari Islam. Sebagaimana yang Allah telah firmankan. “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim” (QS al Maidah: 45). Sebab Islam adalah agama yang aturannya paripurna. Tidak ada agama yang sempurna kecuali Islam. (QS al Maidah: 3)

Berikut ini adalah faktor-faktor yang menjadi penyulut aksi kejahatan; pertama faktor kemiskinan. Rasulullah saw telah ingatkan: “…hampir saja kefakiran menyebabkan kekafiran…” (al hadits).

Kemiskinan di negeri ini telah menjadi kemiskinan yang sistemik. Negeri yang kaya SDA, namun rakyatnya tergolong miskin. Negara memegang peranan penting soal kemiskinan.

Kedua, faktor pendidikan. Maraknya aksi begal bisa menjadi indikator , bahwa pendidikan karakter di negeri ini mengalami kegagalan. Maka sudah saatnya menghadirkan sistem pendidikan Islam di negeri ini, dari segi landasan hingga kurikulum yang berbasis aqidah Islam. Tidak akan bisa muncul generasi Islam jika di rumah anak tidak dididik dengan cara Islami. Maka mewujudkan sistem Islam sebagai sistem kehidupan adalah suatu keharusan.

Ketiga, faktor kebutuhan rasa aman. Dalam Islam, keamanan adalah menjadi tanggung jawab negara yang harus diberikan kepada rakyatnya, sebagi kebutuhyan asasi yang dibutuhkan masyarakat, selain pendidikan dan kesehatan.

Kewajiban memberikan rasa aman erat kaitannya dengan pelaksanaan hukum dan sanksinya. Hukum dan sanksi yang ditetapkan haruslah sanksi yang memberi efek jera sekaligus sebagai pencegah kejahatan terulang kembali. Hal ini hanya bisa dilaksanakan apabila syari’at Islam diterapkan dengan naungan sistem yang totalitas yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun