Sepi nyaris dikatakan mati kondisi  malam hari di Nagari Cheduge. Beruntung saja ada suara jangkrik penanda masih adanya makhluk hidup dan kunang-kunang yang memberi sinar minimalis siluet rumah penduduk.
Menjadi sebuah standard operating procedures lokal setempat. Selepas matahari terbenam, otomatis semua rumah penduduk tanpa penerangan. Konon katanya dengan cara seperti ini, tempat ini terhindar dari para Erior. Pembunuh pesanan pihak yang menang perang, beratribut topeng dan memiliki skill lari cepat.
Jika terpaksa menyebut 1 lokasi dengan penerangan lebih terang dibanding tempat lainnya. Maka  sebuah kamar kecil didekat jembatan mungil jawabannya. Si penghuni kamar memaksa sejumlah kunang-kunang terperangkap dalam sebuah toples ukuran sedang.
Namun kamar kecil itu tak lagi aman malam ini.
Ditengah malam yang gelap. Sosok tinggi sekitar 162 cm dan bermantel senada warna malam mengendap-endap diantara pepohonan berusaha menuju kamar tersebut. Berjalan dengan cara menjinjit kaki bagian depan, kemudian diikuti tumit. Sosok ini jelas-jelas berusaha meredam suara yang bisa dihasilkan dari setiap gerakannya.
Dimukanya terlihat seperti adanya sinar. Sinar?
Bukan. Bukan. Ternyata itu bukan sinar. Itu adalah pantulan cahaya kunang-kunang dikarenakan ia memakai kacamata. Ya, itu kacamata. Aku yakin itu.
Kini ia tepat didepan pintu kamar. Setelah sebelumnya melangkah 5-6 kali di posisi pohon terakhir. Beberapa kali mukanya ia palingkan ke belakang punggungnya. Hanya sekedar memastikan tidak adanya orang lain yang melihat.
Digenggamnya engsel pintu kamar. Ekstra hati-hati hingga menimbulkan suara derik kecil.
"Entura!" Saga melempar benda kecil berwarna kuning sebagai serangan kejutan.
"Ista!" Magic khas milik Katia. Menyerap serangan musuh kedalam celah kecil dibawah lengan baju.