Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pekerja Migran Indonesia, Solusi Ekonomi dan Perangkap Eksploitasi

28 September 2024   08:54 Diperbarui: 29 September 2024   13:47 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah pekerja migran Indonesia (PMI) yang baru tiba antre untuk pengecekan suhu tubuh di Pelabuhan Internasional Batam Centre, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (21/5/2020). | ANTARA FOTO/M N Kanwa via Kompas.com

Migrasi tenaga kerja, terutama menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI), merupakan fenomena yang signifikan dalam konteks globalisasi dan ekonomi. Pergerakan pekerja lintas negara ini menjadi salah satu solusi bagi permasalahan pengangguran dan kemiskinan yang masih dialami oleh sebagian masyarakat Indonesia. Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan bahwa lebih dari 9,1 juta warga negara Indonesia bekerja sebagai PMI, yang tersebar di berbagai negara di seluruh dunia (kompas.com, 2023).

Keberadaan PMI memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan, terutama melalui remitansi atau pengiriman uang dari luar negeri ke Indonesia. Berdasarkan laporan dari Bank Indonesia, remitansi yang dikirimkan oleh PMI mencapai 9,71 miliar dolar AS pada tahun 2023 (kompas.id, 2023).

Remitansi ini tidak hanya menopang perekonomian keluarga PMI tetapi juga berkontribusi terhadap ekonomi nasional, menjadikannya salah satu dari empat sektor utama yang mendukung perekonomian Indonesia. Namun, meskipun jumlah remitansi tersebut sangat besar, angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelum pandemi COVID-19, yang mencapai 11,44 miliar dolar AS pada tahun 2019  (kompas.id, 2023).

Selain kontribusi ekonomi, migrasi tenaga kerja juga berdampak pada pembangunan sosial di daerah asal pekerja. Peningkatan taraf hidup keluarga pekerja migran, pengembangan keterampilan baru, dan investasi di sektor pendidikan seringkali merupakan hasil dari remitansi yang dikirimkan oleh PMI. Namun, di balik manfaat ekonomi ini, terdapat berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh pekerja migran, terutama terkait dengan aspek hukum dan keamanan.

Tantangan Hukum, Sosial dan Kebijakan Migrasi Non-Prosedural

Salah satu isu utama dalam migrasi tenaga kerja adalah tingginya jumlah PMI yang bekerja secara non-prosedural atau ilegal. Menurut BP2MI, dari 9,1 juta PMI di luar negeri, sekitar 4,5 juta di antaranya bekerja secara ilegal atau tanpa dokumen yang sah juta (kompas.com, 2023).

PMI non-prosedural ini menghadapi risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bekerja melalui jalur legal. Risiko tersebut mencakup eksploitasi, kekerasan, penipuan, serta keterlibatan dalam perdagangan manusia. Selain itu, karena mereka bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai, mereka sering kali menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tidak terdeteksi oleh otoritas (IOM, 2009).

Faktor yang mendorong tingginya angka migrasi non-prosedural di Indonesia bervariasi. Sebagian besar disebabkan penipuan lowongan kerja dan kurangnya informasi yang akurat tentang prosedur migrasi yang sah, khususnya di daerah pedesaan. 

Selain itu, keterlibatan agen perekrut yang tidak resmi dan tidak bermoral seringkali memperburuk situasi ini, membuat calon pekerja migran tertipu untuk bekerja di luar negeri tanpa dokumen resmi. Dalam banyak kasus, jaringan perekrut ini mendapatkan keuntungan besar dari perdagangan tenaga kerja ilegal, baik di Indonesia maupun di negara tujuan (Leda, 2024).

Para sarjana yang menggunakan pendekatan sosial kritis, dalam menganalisis fenomena migrasi melihat bahwa migrasi, terutama migrasi non prosedural, tidak hanya merupakan keputusan individu, tetapi juga dipengaruhi oleh sistem dan struktur ekonomi serta politik yang lebih besar (Tolo, 2019).

Perspektif ini menyoroti ketidaksetaraan yang terstruktur dalam masyarakat, yang mendorong individu untuk bermigrasi demi mencari kondisi kehidupan yang lebih baik, meskipun seringkali melalui jalur non prosedural atau ilegal.

Dalam pandangan sosial kritis, migrasi sering kali dipandang sebagai konsekuensi langsung dari ketimpangan ekonomi yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme global. Sistem ini menciptakan ketimpangan produksi dan distribusi kekayaan di berbagai negara. 

Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, sering kali mengalami masalah struktural seperti ketimpangan agraria, keterbatasan akses terhadap tanah, sumber daya, dan peluang ekonomi. Ketimpangan ini menciptakan kondisi di mana sebagian besar penduduk di pedesaan tidak memiliki akses ke lahan pertanian yang produktif atau pekerjaan yang layak di sektor lain, sehingga memaksa mereka mencari alternatif ekonomi di negara lain sebagai pekerja migran.

Ketimpangan agraria dilihat sebagai salah satu penyebab utama migrasi dari pedesaan ke negara-negara yang menawarkan pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik. Sektor pertanian di Indonesia, misalnya, mengalami masalah struktural akibat penguasaan tanah oleh segelintir elit atau perusahaan besar, sementara sebagian besar petani kecil hanya memiliki sedikit tanah untuk dikelola. 

Selain ketimpang penguasaan lahan, kondisi berikutnya juga adalah krisis iklim dan lingkungan, yang turut menyebabkan rendahnya pendapatan di sektor agraria dan pertanian, sehingga banyak kelas pekerja pedesaan terpaksa mencari pekerjaan di luar negeri, hanya sekedar untuk bertahan hidup, meskipun tanpa mengikuti prosedur resmi.

Selain itu, ketidakmampuan negara dalam memberikan layanan pendidikan yang memadai juga menjadi faktor yang memicu terjadinya migrasi non prosedural. Calon pekerja migran yang berasal dari daerah pedesaan sering kali tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk bersaing di pasar tenaga kerja formal, baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap bujukan agen-agen perekrutan ilegal yang menawarkan pekerjaan di luar negeri tanpa melalui jalur resmi.

Penutup: Upaya Melindungi Pekerja Migran

Kompleksitas masalah migrasi non prosedural juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan negara yang sering kali hanya bersifat regulatif dan kurang menyentuh akar masalah. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi berbagai kebijakan untuk melindungi PMI, baik sebelum, selama, maupun setelah bekerja di luar negeri. Undang-Undang Pekerja Migran Indonesia (UU PMI) mencakup perlindungan hukum, sosial, dan ekonomi bagi pekerja migran. 

Pemerintah, melalui kebijakan migrasi, sering kali hanya berfokus pada pengaturan visa, deportasi, dan pengawasan terhadap PMI di luar negeri, namun kurang memberikan perhatian pada penyebab struktural yang mendorong terjadinya migrasi ilegal. Tanpa mengatasi ketimpangan ekonomi di daerah pedesaan, serta memperbaiki sistem perekrutan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap agen-agen perekrutan ilegal, migrasi non prosedural akan terus berlangsung.

Pemerintah perlu mengatasi akar penyebab migrasi, seperti ketimpangan agraria, memperkuat regulasi perekrutan, serta memberikan perlindungan dan pendidikan yang lebih baik bagi calon pekerja migran. Dengan demikian, migrasi non prosedural dapat diminimalisir, dan hak-hak pekerja migran dapat lebih terlindungi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun