Penyediaan Kontrasepsi bagi Remaja dan Anak Usia Sekolah Butuh Kolaborasi Mutipihak
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Salah satu pasal dalam peraturan tersebut, yakni Pasal 103, mengatur tentang penyediaan alat kontrasepsi untuk anak usia sekolah dan remaja, terutama bagi pasangan yang telah sah menikah.Â
Tujuan utama peraturan ini adalah untuk memastikan kesehatan reproduksi remaja sehingga mereka siap menghadapi kehamilan, dengan penyediaan komunikasi, informasi, edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi, yang meliputi deteksi dini penyakit, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.
Dalam jangka panjang, aturan ini berfungsi untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi dalam program Keluarga Berencana (KB) melalui penggunaan kontrasepsi sejak remaja, sehingga kemudian dapat mengendalikan jumlah anak dalam keluarga dan mengatur interval antara kelahiran. Di masa depan diharapkan dapat tercipta keluarga yang sejahtera, mandiri, dan sehat serta mengurangi kejadian kehamilan yang tidak direncanakan.
Saat ini, penggunaan kontrasepsi di Indonesia masih didominasi oleh perempuan. Partisipasi pria dalam penggunaan kontrasepsi masih sangat rendah, dengan hanya 2,5% pria menggunakan kondom dan 0,2% melakukan vasektomi. Rendahnya partisipasi pria dalam penggunaan kontrasepsi ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk ketidakmauan pria menggunakan alat kontrasepsi yang tersedia.
Akibatnya, banyak perempuan merasa terpaksa menggunakan kontrasepsi untuk memenuhi permintaan suami, meskipun mereka sebenarnya merasa keberatan.Â
Jika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, perempuan seringkali menjadi pihak yang disalahkan oleh suami. Padahal, keputusan penggunaan kontrasepsi seharusnya diputuskan bersama oleh suami dan istri, mengingat dampaknya terhadap tubuh dan kesehatan perempuan.
Keputusan penggunaan kontrasepsi yang didominasi oleh suami sering kali merugikan istri. Lemahnya negosiasi perempuan dalam pengambilan keputusan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk tingkat pendidikan yang lebih rendah, adat-istiadat, budaya, serta dominasi ekonomi oleh laki-laki. Rendahnya pengetahuan suami mengenai pentingnya partisipasi pria dalam penggunaan kontrasepsi juga memperparah kondisi ini.
Lingkungan sosial dan budaya turut mendukung rendahnya partisipasi pria dalam penggunaan kontrasepsi. Banyak masyarakat, terutama suami, masih beranggapan bahwa urusan kontrasepsi adalah kewajiban perempuan. Akibatnya, suami enggan menggunakan kontrasepsi dengan berbagai alasan.
Perempuan mengalami banyak beban, mulai dari kehamilan, melahirkan, menyusui, hingga membesarkan anak. Beban ini semakin berat ketika perempuan juga harus menggunakan kontrasepsi. Oleh karena itu, sudah saatnya suami ikut berperan dalam penggunaan kontrasepsi untuk mengurangi beban perempuan.
Karenanya, upaya pemerintah untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi dalam penggunaan kontrasepsi sejak remaja melalui implementasi Pasal 103 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 perlu didukung.Â