Ketiga, perencanaan dan koordinasi yang matang sangat diperlukan dalam pelaksanaan program MBG. Karena itu, pentingnya pengelolaan keseimbangan antara target capaian dan efisiensi.Â
Program perbaikan gizi seperti MBG tidak bisa hanya bertumpu pada penyediaan makanan, tetapi juga harus memperhatikan pemenuhan standar gizi.Â
Jika anggaran program terbatas, sebaiknya kuantitas penerima dan cakupan daerah yang perlu dibatasi, bukan alokasi per porsinya. Selain itu, program ini harus memiliki landasan akademik, target yang jelas, dan perencanaan anggaran yang terperinci.Â
Diskusi terkait kebijakan makan siang gratis harus lebih dari sekadar lempar narasi tanpa perincian konkret. Penting untuk menentukan kementerian atau lembaga yang bertanggung jawab atas program ini untuk memastikan koordinasi yang baik.
Keempat, adaptasi menu sesuai dengan keberagaman daerah sangat penting dalam program MBG. Bahwasannya setiap daerah di Indonesia memiliki keberagaman sumber gizi. Oleh karena itu, masing-masing wilayah mungkin akan memiliki menu yang berbeda untuk memenuhi standar gizi.Â
Pemenuhan standar gizi harus disesuaikan dengan ketersediaan bahan makanan dan menu lokal. Misalnya, di wilayah pesisir, ikan bisa menjadi sumber protein utama, sementara di wilayah pegunungan, sayuran dan umbi-umbian bisa lebih dominan.Â
Dengan menyesuaikan menu berdasarkan ketersediaan lokal, program MBG dapat lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Kelima, evaluasi dan monitoring yang berkelanjutan harus dilakukan untuk memastikan efektivitas program MBG.Â
Evaluasi ini harus mencakup penilaian terhadap kualitas gizi makanan yang disediakan, keamanan pangan, serta kepuasan dan kesehatan penerima manfaat.Â
Monitoring yang berkelanjutan akan membantu mengidentifikasi masalah dan kekurangan dalam pelaksanaan program, sehingga perbaikan dapat dilakukan dengan cepat.Â
Selain itu, evaluasi juga penting untuk memastikan bahwa program ini mencapai tujuannya dalam meningkatkan kualitas gizi dan kesehatan masyarakat.