Pelecehan Seksual dan Etika Penyelenggaraan Pemilu
Kasus pelecehan seksual yang melibatkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia, Hasyim Asy'ari, telah menarik perhatian publik dan menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan.Â
Pada 3 Juli 2024, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan untuk memberhentikan Hasyim Asy'ari dari jabatannya setelah terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), berinisial CAT.Â
Kasus ini mencerminkan isu serius terkait etika dan profesionalitas dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Kasus yang bermula ketika seorang anggota Partai Republik Satu, Hasnaeni, yang dikenal sebagai "Wanita Emas", melaporkan Hasyim Asy'ari ke DKPP pada 25 Januari 2023.
Laporan tersebut mengklaim bahwa Hasyim Asy'ari telah melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya.Â
Pada 18 April 2024, Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH FHUI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) turut mengajukan laporan serupa.
DKPP kemudian melakukan penyelidikan yang menyeluruh dan menemukan bahwa Hasyim Asy'ari melakukan tindakan asusila, termasuk mendekati, merayu, dan berbuat tidak senonoh terhadap anggota PPLN.
Putusan DKPP Nomor 90/PKE-DKPP/V/2024 yang dibacakan pada 3 Juli 2024 menyatakan bahwa Hasyim Asy'ari terbukti bersalah dan diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua KPU serta anggota KPU secara permanen.
Reaksi terhadap putusan ini sangat bervariasi. Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) mengapresiasi keputusan DKPP dan mendesak KPU untuk segera menentukan Ketua definitif setelah pemberhentian Hasyim Asy'ari.Â
Mereka juga meminta KPU untuk membuat pedoman penanganan kekerasan berbasis gender guna mencegah kasus serupa di masa depan. KMPKP menekankan pentingnya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan dalam proses demokrasi Indonesia.