Populisme telah menjadi fenomena global yang berdampak pada berbagai aspek politik dan pemerintahan di banyak negara, termasuk Indonesia. Di tingkat lokal, khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada), populisme kerap kali menjadi strategi yang diadopsi oleh para calon pemimpin untuk menarik dukungan.
Francis Fukuyama, seorang profesor Ilmu Politik di Amerika Serikat, dalam artikel "What is Populism" (2017) mengidentifikasi tiga ciri utama populisme.
Pertama, populisme cenderung mengadopsi kebijakan jangka pendek yang pro-rakyat, sering kali dalam bentuk kebijakan sosial seperti subsidi, pensiun, dan fasilitas gratis. Namun, kebijakan ini seringkali tidak memperhatikan stabilitas ekonomi dan kepentingan jangka panjang negara.
Kedua, pemimpin populis mendefinisikan "rakyat" secara sempit berdasarkan identitas seperti etnis, ras, dan agama. Misalnya, Donald Trump dengan slogannya "America First" mempromosikan supremasi kulit putih, tetapi mengabaikan minoritas seperti Afrika-Amerika dan Hispanik.Â
Di India, Perdana Menteri Narendra Modi telah mengubah identitas nasional dari yang inklusif liberal seperti Gandhi dan Nehru menjadi identitas nasional yang berbasis agama Hindu (Nurul Hasfi, 2024).
Ketiga, gaya kepemimpinan populis sering kali membangun kultus pribadi, dengan pemimpin mengklaim otoritas yang memungkinkan mereka bertindak secara independen dari lembaga demokrasi, terutama partai politik. Para populis juga cenderung membangun oposisi untuk menciptakan musuh bersama dengan rakyatnya.
Di Indonesia, populisme tercermin dalam retorika politik para elit yang menonjolkan kedekatan dengan rakyat. Strategi populisme pragmatis telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia, pertama kali digunakan oleh Soekarno dengan doktrin Marhaenisme. Megawati Soekarnoputri kemudian melanjutkan populisme pragmatis, meskipun kebijakan pemerintahannya bersifat pragmatis (Triwibowo & Martha, 2021).
Kemudian Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memanfaatkan subsidi ekonomi berupa bantuan langsung tunai menjelang pemilihan presiden untuk meningkatkan citra positifnya, menunjukkan penggunaan populisme pragmatis.
Penelitian Triwibowo & Martha (2021) mengungkapkan bahwa Jokowi dan Prabowo menunjukkan jenis populisme yang berbeda. Jokowi dikenal sebagai pemimpin populis santun, sementara Prabowo sebagai pemimpin populis ideal. Jokowi mengkritisi pemerintahan sebelumnya, sedangkan Prabowo menegur pemerintahan Jokowi, menciptakan rasa antagonisme antara baik dan buruk dalam retorikanya.
Keduanya menggunakan populisme pragmatis sebagai strategi politik untuk meraih kekuasaan politik, memanfaatkan retorika populisme tanpa konsistensi anti-elit yang sejati (Triwibowo & Martha, 2021).