Tajuk rencana kompas pada 30 Mei 2024, menyoroti permasalahan penting terkait lingkaran setan pekerja anak. Pasalnya, isu mengenai pekerja anak telah membentuk lingkaran setan, dan kemiskinan sebagai faktor determinan menciptakan siklus yang sulit diputus.
Isu ini pula menjadi tantangan global yang terus mendesak perhatian dunia, termasuk Indonesia, karena lingkaran setan merantai anak-anak dan mengorbankan masa depan mereka demi kebutuhan ekonomi keluarga.
International Labour Organization (ILO) mengartikan “pekerja anak” sebagai pekerjaan yang menghilangkan masa kanak-kanak, potensi dan martabat anak, serta merugikan perkembangan fisik dan mental.
Ini mengacu pada pekerjaan yang; pertama, berbahaya secara mental, fisik, sosial atau moral dan membahayakan anak-anak. Kedua, mengganggu sekolah mereka dengan cara: merampas kesempatan mereka untuk bersekolah; mewajibkan mereka meninggalkan sekolah sebelum waktunya; atau mengharuskan mereka untuk mencoba menggabungkan kehadiran di sekolah dengan pekerjaan yang terlalu panjang dan berat (https://www.ilo.org, 2024).
Fakta kongrit yang diulas Kompas beserta data-data cukup memberi bukti, sekaligus menegaskan gambaran definisi pekerja anak di atas, bahwa banyak anak-anak di Indonesoa usia sekolah yang terpaksa bekerja sebagai buruh di sektor perikanan, pertanian, pertambangan, pariwisata, trafficking untuk eksploitasi seksual, hingga domestik berupa pekerja rumah tangga anak (PRTA) (https://www.kemenpppa.go.id, 7 Januari 2024).
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja anak di Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun 2019 hingga 2022.
Pada tahun 2019, tercatat sebanyak 0,92 juta pekerja anak, yang kemudian meningkat menjadi 1,33 juta pada tahun 2020 akibat dampak pandemi Covid-19. Namun, angka tersebut kembali menurun menjadi 1,05 juta pada tahun 2021, dan 1,01 juta pada tahun 2022 (https://www.bps.go.id, 24 Januari 2023).
Data ini menunjukkan tren peningkatan selama tahun 2020 yang kemudian diikuti oleh penurunan pada tahun 2021. Selama periode tersebut, mayoritas pekerja anak terjadi di daerah perdesaan daripada di perkotaan. Lebih dari dua pertiga provinsi di Indonesia, yaitu 22 dari 34 provinsi, memiliki proporsi pekerja anak yang melebihi rata-rata nasional (https://www.bps.go.id, 24 Januari 2023).
Meskipun UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengizinkan anak bekerja dalam kondisi tertentu, banyak yang melanggar batasan ini, menunjukkan bahwa undang-undang saja tidak cukup tanpa penerapan yang ketat (Kompas.id, 30 Mei 2024).
Ketika anak usia sekolah bekerja demi menyokong hidup keluarga, hal itu menggambarkan dengan jelas betapa mendesaknya kebutuhan keluarganya dan bagaimana pekerja anak sering kali mengorbankan pendidikan dan hak-hak mereka.