Mengenal Lebih Dekat Ubi Nuabosi: Pangan Gurih dan Renyah dari Ende-NTT
Selain terkenal dengan wisata terpopuler Danau Tiga Warna di Puncak Gunung Kelimutu, Kabupaten Ende juga terkenal dengan Ubi Nuabosi yang renyah dan gurih.
Ubi ini dikenal dengan tekstur yang renyah di luar namun lembut di dalam serta cita rasa gurih yang menggoda lidah. Siapa saja yang berkunjung ke Ende tentu akan ketagihan jika mencicipi ubi ini. Sekali coba pasti mau dobel lagi.
Tekstur renyah dan gurih yang memberikan sensasi kriuk dan memikat pada setiap gigitannya, tidak terlepas dari proses pengolahan yang khas.
Ubi Nuabosi biasanya dikukus atau digoreng. Penggunaan bumbu-bumbu lokal yang dipadukan dengan metode memasak tradisional, turut memberikan cita rasa yang istimewa pada ubi ini: renyah di luar namun lembut di dalam, apalagi dihidangkan dengan sambal terasi dan ikan teri.
Sebagai salah satu jenis ubi kayu yang berasal dari Dataran Ndetundora di Kabupaten Ende, Flores, bentuk Ubi Nuabosi memiliki ukuran batang dan umbi yang lebih besar dibandingkan dengan ubi lokal.
Ubi Nuabosi memiliki lima varietas, yaitu waitero, waibara, toko rheko, tana a, dan terigu. Varietas terigu, tana ai, dan toko rheko adalah yang paling luas dibudidayakan oleh petani di daerah Nuabosi.
Ubi Nuabosi memiliki beberapa kelebihan, seperti cita rasa yang gurih, tekstur empuk, dan kadar HCN rendah. Permintaan ubi Nuabosi cukup tinggi setiap tahun, baik dalam bentuk ubi mentah maupun olahan seperti kripik, wingko, dan kremes.
Cita rasa yang khas dan gurih, serta tekstur empuk dan manis membuatnya sangat populer dan diminati oleh masyarakat di NTT, serta oleh beberapa orang yang mencicipinya, termasuk mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Dengan keunikan dan cita rasanya yang khas, Ubi Nuabosi memiliki potensi ekonomi yang signifikan di wilayah Ende. Komoditas ini telah menjadi bagian penting dari kehidupan ekonomi warga setempat, dengan sebagian besar penduduk hidup dari bertani.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa panen ubi Nuabosi di kebun petani selalu laku terjual, dengan 75% dibeli pedagang dan sisanya dijual sendiri petani di pasar kabupaten (Lanamana, 2022).