Wacana Penambahan Kementerian: Antara Kebutuhan atau Kepentingan Politik?
Wacana penambahan jumlah kementerian dari 34 menjadi 41, seperti yang diusulkan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto, telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan pakar politik di Indonesia.
Penambahan kementerian Kabinet Prabowo-Gibran dipandang sebagai langkah yang diperlukan untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks ke depan. Pengelolaan program-program yang lebih luas dan kompleks membutuhkan struktur pemerintahan yang lebih fleksibel dan responsif. Dengan adanya kementerian tambahan, diharapkan pemerintah dapat lebih efisien dalam menjalankan program-programnya (https://www.kompas.id, 5 Mei 2024).
Menurut tim pengkaji APHTN-HAN, tidak semua urusan pemerintahan yang disebutkan dalam UUD 1945 diatur dalam UU Kementerian Negara. Selain itu, jumlah kementerian yang ada saat ini belum mencukupi untuk menampung semua urusan pemerintahan yang disebutkan dalam UUD 1945. Beberapa kementerian yang belum tercakup meliputi Kementerian Pangan Nasional, Kementerian Perpajakan dan Penerimaan Negara, Kementerian Pengelolaan Perbatasan dan Pulau Terluar, serta Kementerian Kebudayaan (https://www.kompas.id, 5 Mei 2024).
Di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa penambahan kementerian akan membawa dampak negatif, terutama dalam hal biaya dan potensi korupsi. Beberapa pihak berpendapat bahwa penambahan ini akan meningkatkan beban fiskal negara, mengingat setiap kementerian memerlukan anggaran tersendiri untuk operasionalnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, misalnya, menilai bahwa penambahan jumlah kementerian hanya akan memperbesar ceruk terjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini karena dengan semakin banyaknya kementerian, maka akan semakin banyak pula peluang untuk praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang (https://www.cnnindonesia.com, 8 Mei 2024).
Perdebatan ini semakin memanas karena mensyaratkan perubahan dalam peraturan-peraturan yang ada. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, misalnya, membatasi jumlah kementerian hingga maksimal 34. Oleh karena itu, perubahan undang-undang diperlukan agar penambahan jumlah kementerian menjadi 41 dapat dilaksanakan secara sah. Proses perubahan undang-undang ini tentu memerlukan waktu dan diskusi yang lebih mendalam di tingkat legislatif (https://www.kompas.com, 8 Mei 2024).
Kebutuhan atau Kepentingan Politik?
Namun, di balik perdebatan ini, terdapat dimensi politik yang tidak dapat diabaikan. Wacana penambahan kementerian bisa saja menjadi alat politik bagi pemerintah terpilih untuk memperluas basis politiknya. Dengan memberikan posisi kementerian kepada partai koalisi atau kelompok tertentu, pemerintah Prabowo-Gibran dapat memperoleh dukungan politik yang lebih luas.
Pasalnya, dalam beberapa pekan belakangan terjadi perebutan soal jatah kursi menteri yang perlu diisi oleh partai-partai koalisi, termaksuk kursi menteri untuk partai politik yang bergabung setelah Pemilihan Presiden 2024 usai, yakni Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (https://majalah.tempo.co, 5 Mei 2024).
Dengan demikian, polemik terkait wacana penambahan jumlah kementerian semakin memperkuat dugaan adanya motif dan kepentingan politik di balik perdebatan tersebut. Perebutan jatah kursi menteri ini semakin memperjelas bahwa penambahan jumlah kementerian tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan kebutuhan dan efisiensi pemerintahan, melainkan juga untuk mengakomodasi kepentingan politik partai-partai pendukung.Â
Dengan memberikan jatah kursi menteri kepada partai-partai koalisi, pemerintah dapat memperoleh dukungan politik yang lebih luas dan memperkuat koalisi pendukungnya.