Cerita ini ditulis pada 6 tahun lalu. Ketika penulis sedang melakukan penelitian lapangan di sebuah desa. Menetap dan tinggal untuk beberapa waktu di salah satu rumah narasumber. Mereka adalah sepasang pasutri sederhana yang terus berikhtiar tentang hidup dan kehidupan. Dan cerita dibawah ini hanyalah sekelumit cerita tentang mereka dan usaha-usaha mereka.
*
Bulan Oktober masih muda. Alam seharusnya bergeser dengan lamban, tapi rotasi alam sepertinya terlambat. Di bulan Oktober ini, cendawan seharusnya mulai bermunculan, dedaunan hijau menyejukkan mata, dan hujan seharusnya sudah turun.Â
Namun, panas masih menguasai, pepohonan dan dedaunan berguguran, dan kekeringan merajalela.
Di lorong perkampungan, debu terayun-ayun di udara saat angin bertiup. Gunung Ebu Lobo berdiri tegak di selatan, diliputi kabut putih yang menggulung-gulung di udara.
*
Kehidupan di kampung masih seperti biasa. Anak-anak bermain di sana-sini, sementara beberapa orang dewasa sibuk dengan permainan poker di selasar, dan yang lainnya bercengkrama di bagian lain.
Hari sudah mulai sore, matahari akan segera tenggelam di ufuk barat. Ema Lukas bangkit dari kursinya di selasar. "Aku mau pergi dulu," ucapnya sambil meletakkan kartu poker di tangannya.
"Kalau begitu, kita semua bubar," tambah ema Niko yang ikut bangkit. Spesialisasi masyarakat di kampung ini adalah bertani dan berternak.
Suasana di selasar yang ramai tiba-tiba menjadi sunyi. Riuh rendah para bupugae di bagian lain tak terdengar.