Hari Pengurangan Emisi CO2 Internasional yang diperingati setiap tanggal 28 Januari menjadi momen penting dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong tindakan kolektif dari masyarakat dunia dalam menjaga lingkungan dan keberlanjutan planet Bumi dengan mengurangi jejak karbon atau emisi CO2.
Peringatan ini bermula dari keprihatinan akan pentingnya mengurangi emisi gas rumah kaca. Sejak tahun 1896, berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami dampak perubahan iklim, emisi, dan konsekuensinya terhadap pemanasan global. Para ilmuwan telah memberikan peringatan bahwa peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer dapat menyebabkan perubahan suhu permukaan Bumi melalui efek rumah kaca.
Dari hasil penelitian yang terus dilakukan oleh para ilmuwan, semakin jelas bahwa Bumi mengalami pemanasan global yang disebabkan oleh efek rumah kaca dan penipisan lapisan ozon. Bukti-bukti ini termasuk kenaikan permukaan air laut, meningkatnya kekeringan, kebakaran hutan yang parah, dan penurunan pasokan air. Dampak pemanasan global ini merupakan masalah serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan serius dari masyarakat global.
Negara-negara industri mulai merespons dengan berbagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Penandatanganan Protokol Kyoto pada tahun 1997 menjadi langkah awal dalam komitmen untuk mengurangi emisi. Kemudian, Perjanjian Paris pada tahun 2015 mengikatkan 196 negara untuk membatasi pemanasan global dengan mengurangi emisi gas rumah kaca. Inisiatif ini kemudian melahirkan peringatan Hari Pengurangan Emisi CO2 Internasional yang diperingati setiap tanggal 28 Januari.
Meskipun demikian, komitmen untuk mengurangi emisi CO2 belum mampu menstabilkan suhu Bumi. Kita masih belum cukup tegas dalam membatasi pemanasan global dengan mengurangi emisi gas rumah kaca. Cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi menjadi bukti dari peningkatan suhu Bumi yang disebabkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca.
Menurut laporan Copernicus Climate Change Service (C3S)-Uni Eropa, suhu pada tahun 2023 adalah 0,60 derajat Celsius lebih panas dibandingkan dengan suhu rata-rata periode 1991-2020 dan 1,48 derajat Celsius lebih panas dibandingkan dengan suhu pra-industri pada tahun 1850-1900. Proyeksi juga menunjukkan potensi kenaikan suhu yang lebih tinggi pada tahun 2024 dan seterusnya. Peningkatan suhu Bumi ini berdampak pada ketersediaan lahan, keanekaragaman hayati, biota laut, serta kesehatan, kemiskinan, dan kerawanan pangan.
Menurut laporan The International Energy Agency (IEA), ketergantungan pada sumber energi fosil menjadi faktor utama emisi gas rumah kaca. Sektor-sektor ekonomi seperti industri, pembangkit listrik, pertanian, dan transportasi yang menggunakan energi fosil berkontribusi besar pada emisi gas rumah kaca. Karbon dioksida dilepaskan ketika bahan bakar fosil dibakar untuk menggerakkan mobil, pesawat, rumah, dan pabrik, dan hal ini berkontribusi pada pemanasan iklim.
Menghadapi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak untuk mencapai pengurangan emisi CO2 yang signifikan. Pemerintah dapat memainkan peran kunci dengan merumuskan kebijakan yang mendukung peralihan ke sumber energi terbarukan dan mendorong investasi serta pengembangan teknologi hijau dan inovasi di sektor energi.
Pengembangan teknologi penyimpanan energi, peningkatan efisiensi energi, dan penemuan solusi alternatif melalui penelitian inovatif untuk produksi energi juga merupakan bagian penting dari solusi jangka panjang. Dukungan global untuk penelitian dan pengembangan di bidang ini harus ditingkatkan.
Setiap individu juga memiliki peran dalam mengurangi emisi CO2. Gaya hidup berkelanjutan, seperti menggunakan transportasi umum, mengurangi penggunaan plastik, dan menghemat energi di rumah, dapat berkontribusi secara positif. Edukasi publik juga penting untuk meningkatkan kesadaran akan dampak kecil yang dapat dilakukan setiap orang.