Terlalu banyak siswa-siswi bodoh di kelasmu yang jika dipahami lewat logika, mereka hidup hanya dengan ikut-ikutan saja. Tetapi beda persepsi jika dipahami ulang lewat pemahaman dan realitas yang ada, bahwasanya setidak-tidak adanya tujuan hidup atau setidak bergunanya mereka dilahirkan, mereka tetap punya keinginan dan kesempatan. Tinggal menunggu kapan keinginan itu tak perlu diwujudkan dan kapan kesempatan itu kadaluarsa.
Lantas, dengan tekat yang sudah runcing bagai anak panah yang siap dilesatkan untuk menusuk arah tujuannya, kau menggencarkan argumen kepada guru kimia yang sedang memulai sesi ceramahnya itu. "Bagaimana kalau kami bayar nilai ujian yang tinggi itu dengan kejujuran?"
Sekejap, guru kimiamu tampak kebingungan. "Ya bagus kalau kamu jujur. Tapi alangkah lebih bagus lagi kalau kamu dapat nilai tinggi hasil kejujuran dan kerja keras, bukan ilmu sontek!"
Kau keras kepala dalam persoalan seperti ini. Bukan tak mungkin jika teman-teman sekelasmu malah bersorak, mengatai betapa bebalnya kau mengajak guru kimia berdebat. Tetapi lebih mungkin lagi, teman-temanmu malah mendukung, dalam diam dan ketidakberanian berharap agar debat dadakan ini dimenangkan olehmu.
"Tapi, Bu, ada alasan untuk kita menyontek. Ironisnya, alasan itu karena ingin mendapat nilai tinggi. Padahal masa depan, kesuksesan, kebahagiaan, tidak diukur dari nilai tinggi atau pernah-tidaknya menyontek.
Kalaulah nilai ujian satu sekolah ini tinggi-tinggi semua, menurut Ibu, apa bisa dipastikan mereka semua pintar? Apa sudah tentu benar, ketika ditanyai satu per satu dan mereka menjawab bahwa nilai tinggi itu berasal dari otak dan kerja keras mereka? Seandainya Ibu tidak bisa membedakan yang mana kebohongan, dan murid tidak mau berlaku jujur, apa masih berlakukah nilai ujian?"
Kau pandang lurus ke mata guru kimiamu. Yang paling mungkin kautemukan adalah: dia termakan oleh argumenmu. Dan semuanya lewat begitu saja, kau tahu konsekuensinya, tetapi asalkan argumenmu sudah melesat dan gurumu kena tusuk, santai saja ketika dihakimi di ruang BK.
.
Jadi, ide cerpen ini muncul tepat ketika saya akan menghadapi ujian semester setelah di minggu sebelumnya harus disuruh mengerjakan seabrek tugas sampai tangan pegal-pegal. Saya upload juga sehari sebelum ujian dan menjadi entri pertama saya di Kompasiana sebagai kompasianer.
Saya harap dengan menciptakan cerpen ini, setelah membacanya, kamu juga tertusuk oleh argumen yang saya bagikan berdasarkan observasi saya, sekalipun kamu sudah bukan anak sekolah lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H