Mohon tunggu...
HELSI MAULIDIA
HELSI MAULIDIA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran

Mahasiswa angkatan 2022 yang senang belajar hal-hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dinasti Politik: Primitif dan Tidak Beretika

14 Desember 2023   18:39 Diperbarui: 15 Desember 2023   08:51 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apakah kalian familiar dengan kata ‘Dinasti’? Gaya pemerintahan yang pemimpinnya dipilih berdasarkan garis keturunan ini memang banyak dipraktekan pada sistem pemerintahan jaman dulu yang berbentuk kerajaan. Hal ini disebabkan oleh adanya kepercayaan bahwa raja beserta keturunannya itu adalah titisan dewa yang powerfull dan suci. Namun, apa jadinya jika gaya pemerintahan dinasti diterapkan pada pemerintahan jaman sekarang? Apalagi di Indonesia yang notabene menerapkan sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya? 


Apa itu Dinasti Politik?

 
Istilah Dinasti Politik ini sedang ramai dibicarakan orang-orang, bahkan menjadi topik hangat di media sosial. Menjelang pesta demokrasi, istilah dinasti politik semakin mencuat setelah putra presiden Indonesia, Gibran Rakabuming, mencalonkan diri menjadi wakil presiden membersamai Prabowo Subianto. Ditambah dengan, Kaesang Pangarep, adik laki-laki Gibran juga berencana untuk mencalonkan diri menjadi wali kota Depok. Banyak orang mulai mencurigai praktek dinasti politik sedang dibangun oleh Presiden Jokowi secara diam-diam di Indonesia.
 
Dilansir dari bawaslu.id, Politik dinasti adalah fenomena politik munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Politik dinasti bertujuan untuk menjaga kekuasaan agar kekuasaan tersebut tetap berada dipihak penguasa sebelumnya dengan cara mewariskan kekuasaan tersebut kepada keturunan dan kerabatnya. Selain dengan pewarisan kekuasaan, dinasti politik pun dapat berupa pemecahan kongsi kekuasaan kepada anggota keluarga. Hal ini dapat dilihat dengan anggota keluarga yang sengaja bergabung dengan partai politik kemudian memperebutkan posisi pemerintahan seperti Bupati, Gubernur, maupun Walikota. Selain dalam pemerintahan, politik dinasti pun acapkali terjadi didalam partai-partai politik, seperti mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemimpin disana akan menempati posisi penting atau puncak hirarki kelembagaan organisasi dengan mudah bahkan tanpa melalui proses kaderisasi.
 
Memang ada anggapan bahwa dinasti politik tidak masalah untuk diterapkan jika anggota keluarga yang diberi status atau jabatan adalah orang-orang yang berkompentensi dan mampu melakukan perbaikan dalam pemerintahan. Namun, tetap saja ada kalanya terjadi ketidakseimbangan antara kepentingan keluarga yang bersifat pribadi dengan kepentingan orang banyak yang sifatnya terbuka dan menyeluruh. Hal ini dapat terjadi sebab dinasti politik memang pada dasarrnya dibangun atas hubungan keluarga yang merupakan ranah privasi dan tidak seharusnya bercampur baur dengan kepentingan politik.
 
Praktek Politik Dinasti di Indonesia?
 
Praktek Politik Dinasti diduga sedang gencar dilakukan oleh presiden Jokowi menjelang akhir pemerintahannya. Tuduhan ini bukan tanpa alasan sebab beberapa anggota keluarganya pun ikut terjun ke dalam dunia politik, bahkan mendapat posisi penting di pemerintahan maupun di partai politik. Putra sulung presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjabat sebagai walikota Surakarta periode 2021-2026. Seolah posisinya sebagai walikota takcukup membuat rakyat geram, Gibran kemudian maju menjadi calon wakil presiden untuk Pemilu 2024 mendatang. Praktek dinasti politik ini semakin jelas terlihat apalagi dengan adanya konspirasi bahwa MK sebagai lembaga hukum tertinggi telah sengaja membuka jalan untuk Gibran maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo. Hal ini diduga terjadi karena salah satu hakim MK, Anwar Usman  yang merupakan ipar Jokowi, tidak hadir dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sebelum MK memutus perkara terkait batas usia capres-cawapres sehingga memengaruhi hasil gugatan terkait batas usia capres-cawapres. Walaupun begitu, kepada media, Anwar mengatakan bahwa alasannya takhadir dalam rapat tersebut adalah karena sakit.
 
Sebelumnya, MK menolak gugatan batas minimal usia pendaftaran capres-cawapres dari 40 tahun menjadi 35-40 tahun, tetapi mengabulkan gugatan syarat untuk maju menjadi capres-cawapres ialah berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Putusan ini disinyalir “sengaja” dibuat oleh MK taklain untuk melancarkan pembangunan sistem politik dinasti di Indonesia dan membuka jalan bagi Gibran untuk maju menjadi cawapres meskipun usianya baru 35 tahun, tetapi ia terhitung memiliki pengalaman sebagai Kepala Daerah di tingkat kota per 2024.
 
Selain itu, kabar bahwa Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo ini berencana untuk maju dalam pilkada 2024 nanti untuk memperebutkan kursi Walikota Depok. Pencalonannya ini bahkan sudah direstui oleh Jokowi sendiri. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa Jokowi tengah membangun dinasti politiknya sendiri di Indonesia. Namun, pencalonan Kaesang sebagai cawalkot Depok disinyalir mengalami pembatalan karena Kaesang ditunjuk sebagai ketua umum partai yang menaunginya, yakni Partai Solidaritas Indonesia.
 
Walaupun begitu, Jokowi menyanggah tuduhan praktek Dinasti Politik yang diarahkan padanya. Menurutnya, tidak ada unsur dinasti politik dalam pemerintahannya. Jokowi juga menyinggung bahwa pemilihan dilakukan oleh rakyat, bukan elite politik.
 
Apa dampak yang ditimbulkan oleh Dinasti Politik?

 
Praktek politik dinasti ini sebenarnya sudah pernah terjadi di jaman rezim Soeharto dulu. Yang membedakannya dengan dinasti politik sekarang ialah dulu pewarisan dilakukan dengan cara penunjukkan langsung, tapi sekarang dilakukan lewat jalur politik prosedural agar rakyat sebisa mungkin tak menyadari bahwa dinasti politik sedang berusaha ditegakkan kembali di Indonesia. Masyarakat pun sudah tahu bagaimana dinasti politik benar-benar mengacaukan pemerintahan orde baru saat itu. Praktek KKN banyak terjadi sebab politik dinasti memberi dampak buruk kepada akuntabilitas birokrasi dan membuat para penguasa cenderung menjadi lebih serakah.
 
Selain itu, adanya dinasti politik menyebabkan hilangnya fungsi ideal sebuah partai. Tujuan utama patai menjad terbatas hanya untuk kekuasaan. Sebab itu pula proses rekrutmen anggota partai lebih mementingkan kekayaan atau popularitas caleg untuk meraih kemenangan dalam pemilihan nanti sehingga dapat menyumbang tidak hanya pendapatan, juga kekuasaan yang dipegang partai tersebut dalam pemerintahkan. Inilah sebabnya banyak caleg dari kalangan selebriti, pengusaha, atau mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan para penguasa yang mungkin tidak melalui proses kaderisasi sama sekali.
 
Dampak lain yang ditimbulkan oleh dinasti politik ini, yaitu konsekuensi logis dari gejala pertama. Kebijakan sebuah partai politik untuk hanya merekrut caleg-caleg yang berasal dari kalangan berpengaruh menutup kesempatan bagi mereka yang benar-benar berkompentensi, berkualitas, dan berbakat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Sirkulasi kekuasaan yang hanya berputar dikalangan elite dan pengusaha tentu sangat potensial dalam terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
 
Walaupun sistem dinasti politik nyatanya tidak dilarang dalam Undang-Undang, namun hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan etika sosial. Jika seorang elite politik maju dengan mengandalkan politik dinastinya dan dengan mengesampingkan etika sosial, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terus merosot.
 
Politik Dinasti dapat membuat orang yang tidak berkompeten memiliki kekuasaan, tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi. Orang-orang yang kompeten dan berkualitas menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas. Ditambah politik dinasti sangat berpotensi menyuburkan budaya koruptif. Maka dari itu dinasti politik bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. Oleh karena itu pula sistem dinasti politik ini dinilai tidak beretika dan sangat primitif.
 

Helsi Maulidia
Sastra indonesia. Universitas Padjadjaran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun