Di tengah-tengah dunia yang semakin modern, filosofi Tri Hita Karana menjadi daya tarik yang tak lekang oleh waktu. Konsep ini, yang memiliki arti tiga penyebab kesejahteraan, menawarkan panduan hidup yang relevan bagi semua orang, menuntun kita menuju kebahagiaan dan kelestarian.
Tri Hita Karana bukan hanya sekadar teori abstrak, tetapi merupakan teori yang telah mengakar kuat dalam budaya dan tradisi masyarakat selama berabad-abad. Konsep ini pertama kali disebutkan dalam lontar-lontar kuno, teks-teks suci yang memuat berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali.
Seperti yang kita ketahui, Tri Hita Karana merupakan suatu konsep yang berasal dari bahasa Sansekerta. Adapun Tri Hita Karana berasal dari tiga kata, yaitu dari kata tri, hita dan karana.
- Tri memiliki arti tiga
- Hita memiliki arti bahagia
- Karana memiliki arti penyebab
Dari ketiga kata tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kebahagiaan/kesejahteraan bagi hidup manusia.
Adapun Tri Hita Karana berlandaskan pada tiga pilar utama yang saling terkait dan menunjang satu sama lain:
1. Parahyangan: Hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Pilar pertama ini menekankan akan pentingnya hubungan manusia dengan Tuhannya. Melalui doa, ritual, dan pengabdian, manusia berusaha untuk menjalin keharmonisan dengan Sang Pencipta. Hal ini tercermin dalam berbagai tradisi keagamaan, seperti persembahyangan di pura, pelaksanaan upacara adat, dan meditasi.
2. Pawongan: Hubungan manusia dengan Sesamanya.
Pilar kedua ini menitikberatkan pada hubungan manusia dengan manusia lainnya atau sesamanya. Tri Hita Karana mengajarkan nilai-nilai seperti saling menghormati, tolong menolong, dan gotong royong. Hal ini diwujudkan dalam berbagai tradisi dan kebiasaan masyarakat Bali, seperti kerja bakti dan menolong sesama.
3. Palemahan: Hubungan manusia dengan Alam.
Pilar ketiga ini menekankan hubungan manusia dengan alam semesta. Tri Hita Karana mengajak manusia untuk hidup selaras dengan alam, menjaga kelestariannya, dan memanfaatkan sumber dayanya dengan bijak. Hal ini tercermin dalam bagaimana manusia menjaga kebersihan lingkungannya, seperti dengan tidak membiarkan sampah berserakan, tidak menebang pohon sembarangan, dan sebagainya.